Selasa, 24 Mei 2016

Reuni, Saatnya Memilah Kenangan





Siapa yang tak punya kenangan semasa duduk di bangku SMA? Siapa yang tak punya ‘story’ dengan  teman sebangku, teman akrab, sahabat atau bahkan teman se-ganknya? Saya rasa tidak ada. Kalau pun ada, tentu hanya segelintir orang yang mengalaminya.

Kata orang, masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Penuh petualangan, kenakalan, kebandelan, coba-coba, sir-siran, jatuh cinta yang pertama … de el el, de el el. Itu semua orang juga tahu. Semua peristiwa itu terekam sangat kuat di ingatan, takkan terlupakan bahkan hingga bertahun kemudian.


Hari Minggu 22 Mei 2016, bertempat di rumah keluarga Miftachul Bari di  dusun Kempleng Kalurahan Karangsewu Galur Kulon Progo, kami – lulusan SMA N I IKIP Yogyakarta yang sekarang berubah nama menjadi SMA 9 angkatan  tahun 1982-- berkumpul untuk mengadakan acara Reuni.  Dengan mengusung tema besar “Guyup Rukun Gojek lan Kekancan sak Lawase”  berikut tagar  #real_friendship_never_ends, kami kembali mengenang dan memperbarui kebersamaan yang sempat ‘vakum’ selama beberapa waktu.


Tak dapat dipungkiri, sejak lulus SMA di tahun 1982 yang lalu, beberapa teman ‘seperti hilang’ karena merantau, pindah ke lain kota atau bahkan pindah ke luar negeri. Beruntung bagi mereka yang bisa diterima di kampus yang sama, masih bisa saling ketemu dan menyapa. Atau, diterima di kampus sebelah, masih sering berpapasan di jalan atau ketemu di suatu tempat tanpa sengaja. Tetapi, ada juga beberapa teman yang ‘baru ditemukan’ setelah Panitya Inti merencanakan kegiatan reuni ini.

Saya termasuk salah satu diantara teman yang baru ditemukan itu.  Teman teman yang lebih dahulu berkomunikasi, ketemuan telah membuka sebuah chatroom di sebuah media sosial. Satu persatu teman ditambahkan di grup. Satu persatu saling menyapa, menjalin kembali keakraban saat masih duduk di bangku SMA dulu. 


Naaah, di hari bersejarah itu kami seperti dilemparkan kembali ke masa-masa penuh kenangan dulu. Turun dari mobil, lalu saling bersalaman sambil mengingat-ingat siapa yang ada di hadapan adalah saat yang bikin kami ngakak nggak habis habis. Bagaimana tidak, tak sedikit teman yang jauh berubah dibandingkan saat sekolah dulu. Ada yang ‘tumbuh ke samping’, ada yang makin putih, ada yang makin item, makin gondrong … Inilah keseruan  yang mengawali gelak tawa kami selanjutnya.

Panitya Inti telah menyiapkan segala sesuatunya dengan sangat perfect. Backdrop yang ciamik, caping hias warna warni yang menarik, hidangan ala ndeso yang sesuai dengan tema, dan home band yang memeriahkan acara dengan penyanyi yang serba bisa.

 Backdrop ciamik yang menyambut kedatangan kami, peserta reuni.

Tak ketinggalan,  beberapa teman yang bersuara emas pun ikut menyumbangkan nyanyian. Meskipun suara dari sound system sedikit mengganggu jalannya acara reunian, namun hal itu tak mengurangi kegembiraan kami. Saling berbagi cerita, berbagi oleh-oleh –maklum, beberapa teman datang dari luar kota seperti Ungaran, Semarang, Bandung, Jakarta … 



 Dr Marlinda Irwanti --bintang reuni T82 .... sukaaa sekali difoto

 Sang Tuan Rumah, Miftachul Bari ... meskipun wajahnya pucat karena kelelahan, tetapi gembira karena banyak teman yang datang.




 Yang difoto dan yang mengambil foto ... sama sama narsis.


 Emak emak yang tak mau kalah gaya ... wiiisss, ngalah-ngalahke tukang foto professional.



 Pokoknyaaa ... ini gaya dancing para emak -- abaikan yang kalungan sarung.



 Naaahh, iniii .... Seragam kebesaran yang tidak matching dengan warna kerudungnya ... hihihi.


 Sang Sutradara, yang hangabehi  ... --kabeh kabeh diayahi demi suksesnya acara.


Hanya patut disayangkan, rangkaian acara yang sudah disiapkan dakik dakik oleh Panitya Inti tak bisa seluruhnya dilaksanakan. Tentu saja, karena kami lebih asyik untuk bercengkerama satu sama lain, saling bertanya kabar dan tentu saja photo session. Kapan lagi bisa berfoto rame rame dengan teman-teman se angkatan?


Foto, foto dan foto lagi ... ga ada bosan-bosannya.



 "tukang kendang ... jempolku paling guedeeeee"


Lihat saja, meskipun kami sudah termasuk golongan Lolita –Lolos Limapuluh Tahun, tetapi kami tetap bergaya ala ala anak muda. Memakai caping kebesaran, kami bergaya bak peragawati ternama sedang fashion show. 


 Duet Bung Koes dan bu dokter .... action!




Saluuuutt sama mas Suud, meskipun sedang sakit namun tetap meluangkan waktu untuk hadir.





 Tariiikkk maaannggg .... goyang dombret ala emak emak lolita.




Setelah ishoma –istirahat sholat dan makan, kami melanjutkan photo session dengan berganti kostum. Kali ini kami mengenakan kaos berwarna abu-abu cerah dengan badge “Berani Sukses Trappsila 82” di dada kiri atas. Diselingi dengan pembagian doorprice sumbangan dari beberapa teman, acara berlangsung penuh gelak tawa. Cuitan cuitan jail terdengar dari beberapa sudut saat penerima doorprice maju ke depan backdrop. “Ciuum …ciuum…,” 


Jempolku paling guedeeeee ....kata Noer Yuwono. 





Liatin apa thooo? Semua kompak melihat ke satu arah.



Benar-benar sebuah perhelatan yang menggembirakan, ngrabuk nyawa dan menjalin tali silaturahmi yang terputus karena tak adanya komunikasi.


Salah satu pemenang doorprice sedang menerima hadiahnya.


Daaannnn ... ndlosor pun jadi, asal bisa ikut foto rame rame.

Ada yang 'tidak dikenali' lagi? 

Capingnya cantik .... gagal fokus.

Semua foto-foto koleksi Trappsila 82.



Tibalah saatnya menyanyikan lagu Kemesraan, foto bersama seluruh hadirin dan … mbontot. Membawa pulang oleh-oleh yang disiapkan oleh tuan rumah.  Lelah? Pasti. Tetapi keriangan yang mewarnai reuni itu mengalahkan rasa lelah yang dirasa. Maklum, faktor usia tak bisa dipungkiri. Tubuh sudah mulai berkurang kebugarannya.

Sampai ketemu di pertemuan selanjutnya. Tahun depan. Dengan acara yang diharapkan lebih meriah, lebih banyak yang bisa menghadiri dan tentu saja lebih banyak doorprice yang dibagikan.

Sayonara, au revoir, sampai ketemu lagi.


 =====oOo=====

Kamis, 04 Februari 2016

Catatan Perjalanan: 'Kesasar' di Bukit Jaddih



Berawal dari niatan yang tertunda sejak setahun yang lalu, hari Selasa 3 Februari 2016 yang lalu kami putuskan untuk melunaskan keinginan ibu. Beliau pengin bisa melihat Jembatan Suramadu yang terkenal itu.

Selama dua hari kami melakukan perjalanan ke sebagian Pulau Madura dan Surabaya. Kami sampai di Surabaya hari Rabu pagi, tanpa membuang waktu kami putuskan untuk langsung menyeberang ke Madura. Berbekal aplikasi GPS kami menyusuri jalanan Surabaya yang belum begitu padat menuju ke Jembatan Suramadu.

Kebetulan, lalu lintas tak begitu ramai. Kendaraan yang melintas di atas jembatan hanya satu dua, jadi kami bisa sedikit memperlambat laju kendaraan dan membuka kaca jendela. Kami ingin memberi kesempatan kepada ibu agar bisa leluasa dan puas menikmati aroma laut, menghirup udara di sepanjang jembatan dan terutama menyaksikan kemegahan bangunan jembatan secara lebih detail. Beberapa kali kami mencoba mengambil foto dengan kamera hape yang ada, sekedar untuk kenang-kenangan.

Tadinya, kami hanya ingin menyeberang lalu kembali ke Surabaya. Tetapi di tengah jalan, kami berubah pikiran. Senyampang di Madura, kenapa nggak sekalian saja menikmati kuliner dan berburu kain batik khas daerah sana?

Berbekal beberapa info dari keluarga yang pernah ke Madura, kami melanjutkan perjalanan ke arah Bangkalan. Tujuan pertama ingin menikmati kuliner, kami menyusuri jalanan berbekal petunjuk arah yang terpampang di sisi kiri jalan.

Berhubung si sulung agak alergi bebek, tujuan makan pun lagi lagi berubah. Kami putuskan untuk menyantap ayam goreng yang terhitung aman bagi kami semua.


Selesai makan, kami mengunjungi sebuah toko yang memajang aneka kain batik khas Madura. Melihat-lihat, memilih lalu membeli beberapa potong. Tentu saja, kami menawar lebih dulu harga kain yang ditawarkan. Ini sessi yang paling heboh, maklum emak emak …



Kepalang tanggung, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju ke pasar tradisional untuk berburu terasi dan petis udang maupun petis ikan. Sekalian jalan kan? Siang itu kami habiskan untuk blusukan ke pasar. Selain petis dan terasi,  kami pun membeli salak Madura.


===ooOOOoo===


Ada satu usul menggelitik yang berhasil membuat rasa penasaran kami meluap-luap. Sudah sampai di Bangkalan, kenapa nggak sekalian saja mengunjungi Bukit Jaddih?



Nama yang asing, belum pernah kami dengar sebelumnya namun berhasil membuat kami membelokkan arah menuju ke sana.

Lagi lagi kami mengandalkan aplikasi GPS. Hehehe …  Sebenarnya tak terlalu sulit mencari daerah tersebut,  kami tinggal mengikuti  beberapa truk yang beriringan menuju ke bukit itu. Lumayan, jalur yang harus kami tempuh cukup membuat kami menahan nafas. Jalanan berbatu putih tak rata, pepohonan hijau dipadu dengan tanah yang memutih. Kontras sekali.






 Rasa ingin tahu kami terbayar dengan pemandangan indah yang tersaji di hadapan kami. Bukit batu putih yang ditambang, alat alat berat yang sibuk mengebor dan memindahkan hasil tambang ke dalam bak truk, lalu lalang truk yang mengangkut hasil tambang, para pekerja yang sibuk dengan mesin chainsaw untuk memotong-motong batu putih itu berbentuk persegi panjang sebagai bahan pondasi rumah.



 Tak banyak informasi yang bisa kami dapatkan tentang pertambangan ini. Salah seorang laki-laki yang kami temui terlihat takut takut saat kami menanyakan beberapa hal tentang pertambangan. Kami hanya mendapat penjelasan bahwa hasil tambang ini digunakan sebagai tanah urug, sementara yang berupa potongan potongan berbentuk balok /persegi panjang dimanfaatkan sebagai bahan pondasi atau dinding rumah.



Puas mengambil beberapa photo, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan yang kami lalui menuju ke jembatan, kami mengamati rumah rumah penduduk di samping kiri dan kanan jalan. Memang benar, sebagian besar dinding rumah penduduk terbuat dari batu putih (mereka menamainya begitu) ini.  Menurut penjelasan laki laki yang kami temui tadi, batu putih ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan batu bata.
Kebenarannya? Kami tidak tahu.

Sayangnya, penambangan ini menyisakan cekungan cekungan bekas galian yang dibiarkan begitu saja. Digenangi air, menjadi sarang nyamuk. Sementara di bagian lain nampak kolam renang dengan airnya yang membiru, tepat bersebelahan dengan kubangan air yang berwarna kehijauan. Pemandangan yang kontras.







Bagaimana  pun, pegunungan batu putih ini telah memberikan ruhnya kepada penduduk sekitar. Mereka bisa bekerja di tambang sebagai pemecah batu, operator backhoe, operator mesin pemecah batu, sebagai pengemudi truk pengangkut hasil tambang.
Selain sebagai daerah pertambangan, kawasan ini juga menjelma menjadi obyek wisata. Di antara lalu lalang truk pengangkut hasil tambang, terdapat pula beberapa mobil pribadi yang mengunjungi daerah ini.




Mengemudikan mobil di jalanan berbatu putih, dengan jurang menganga di kiri dan kanan jalan benar benar memacu adrenalin. Rasa singunen (bhs Jawa) – rasa takut akan ketinggian akan terbayar lunas saat sampai di puncak. Kita bisa photo selfie sepuasnya.

Sayangnya, kami tak berani membawa mobil hingga ke atas sana, meskipun ingin. Kami tak ingin berspekulasi. Medan terjal di depan sana meruntuhkan nyali kami.



=====oOOOo=====

Sabtu, 30 Januari 2016

Curhat ala Mak: Tresna Kui (ora) Ana Regane


Tresna Kui (ora) Ana Regane



 

Laah, kepiye kui. Tresna kok ora ana regane? Gek gajege  piye jal?

Pitakonan kui mesthi mrentul saka ati nalika kita kabeh maca judul sing tak tulis neng ndhuwur. Mokal nek kita sedaya ora ngerti apa suraose tembung tembung kang thirik thirik tumata minangka judul tulisan iki.
Tresna … Sakjane tresna kui apa tho? Horotoyoh, ana sing isa njawab pitakonan iki?

Sak ngertiku, tresna kui rasa asih, rasa gemati, rasa ngemong, rasa wedi kelangan lan sakpanunggalane. Rasa ini isa tuwuh antaraning wong tuwa marang anak-anake, marang kanca kenthel,  marang tangga teparo, marang sak padha padha lan ana uga tresna marang lawan jenis.


-----oooOOOooo-----


Wis sauntara suwe aku kepengin duwe wit pandan. Sepele tho? Iya, sepele. Wit pandan mono gampang thukule, meh saben omah nduwe tanduran iki.  Nalika kopdar IIDN Korwil Yogya ing tlatah Muntilan, salah sawijining kanca kang duwe wit pandan, abot abot nggawakke tanduran kui kanggo aku. Wit pandan sing dhuwure udakara wis sedhepa, digawakake.  Sakjane aku ngerti, piyambake ya repot  nggawa wit sing tholang tholang ngebaki sepedha montore. Ananging, sing marakke trenyuh, Jeng Marul ora rumangsa ewuh lan kerepotan. 

Sauntara wektu, aku nembe nglegena nek Jeng Marul kui lagi wae ngesokke tresna kang ora ana regane. Tresna marang kanca kang ora isa diukur ngganggo gedhene bandha mayuta-yuta.

Eman,  ora gantalan wektu wit pandan mau ora kalap. Tak tandur neng sisih omah, trus mati. Jare kakangbojo, tanganku kui panas. Ora isa nenandur.


-----oooOOOooo-----


Liya dina, gandheng aku isih kepengin duwe wit pandan, aku weling karo sing sok ngewangi  neng omah.

“Mbak, mbok aku nyuwun tulung digawakke wit pandan. Sak uwiiitt wae. Nggo deduwen,”  celathuku.

“Ooh, nggih Bu. Teng nggriya kathah kok. Mbenjang kula betake,” semaure.

Gandheng durung kober nandur, wit pandan kui tak selehke neng sandhing pancuran. Angkahku, ben ora usah nyiram samben esuk lan sore. Wit pandane wis katut kesiram angger ana sing mbukak kran saperlu wijik tangan apamaneh sikil. Sedina, rong ndina … ora krasa nganti genep sepuluh dina. Aku isih durung kober nyepakke pot kanggo nandur wit pandan kui.  

Ragilku risi, sore sore sak durunge adus dhewekke nggawa cethok trus wit pandan kui ditandur neng sisih omah. Ora lali dheweke saben esuk lan sore tlaten nyirami. 

Ananging dhasare ora waris, wit pandan kui sidane yaa padha karo wit pandan sak durunge. Mati.


-----oooOOOooo-----


Ndilalah, aku kanggonan Kopdar IIDN Korwil Yogya ing wulan Januari iki. Pucuk dicinta ulam tiba kan?

Tak wanek-wanekke , jan-jane yaa rada kepiyee ngunu. Rasane ora penak, pekewuh … embuh lah. Aku nembung Jeng Flo, muga kersa nggawakke wit pandan sing ana lemahe. Pengalaman sing uwis, digawakke wit nanging ora katut lemahe mung marakke gela. Wit pandane ora gelem urip.   

Aja takon kepiye rasa isine, untung wae anggonku nembung ora adhep-adhepan, mung lewat chatting. Dadi, rasa isinku isa tak dhelikke rapet. Hihihihi …. 

Klakon, Jeng Flo ngrawuhi Kopdar. Ngasta tas punggung gedhe sing ketok abot gawane.
“Mak, ngestokaken dhawuh. Menika pesenan Mak,” karo ibut ngetokke wit pandan sak pot’e trus diseleh neng sandhing pintu.




-----oooOOOooo-----


Rumangsaku, aku kaya ketiban emas sak gunung. Wis njaluk, digawakke, ora perlu susah susah sowan menyang daleme Jeng Flo.
Sakjroning ati aku nangis. Iki sing jenenge tresna. Tresna sing ora ana regane. Tresna sing ora isa diregani nganggo bandha mayuta-yuta.
Matur sembah nuwun Jeng Flo, wis kersa tak repoti, wis kersa abot-abot nggendhong tas isi pot sak wit’e.




 =====&&&&&&&=====