Minggu, 19 Februari 2012

Baulawean


Surti terduduk lesu di pinggir ranjang. Rambutnya berantakan, gaun yang dikenakannya kusut masai. Air matanya tak henti mengalir membasahi pipi yang pucat. Beberapa kerabat masih hilir mudik di ruang tamu rumahnya, merapikan kursi dan perabotan.
 Jasad mendiang suaminya baru saja dihantarkan ke makam di sudut desa. Tejo, suami yang sangat dicintainya telah mendahului menghadap Illahi. Tak ada tanda-tanda jika Tejo menderita suatu penyakit. Selama ini ia sehat, sedang mesra mesranya menjalani kehidupan rumah tangga.
“Aahh…,” keluh Surti. Dikibaskan tangannya seolah ingin menghalau bayangan hitam di depan mata.
Ia menghampiri meja rias, membersihkan sisa tangis di wajahnya, lalu melangkah ke luar kamar. Beberapa kerabat segera menyongsongnya dan membantu duduk di kursi  tamu. 
“Sabar ya Jeng, ini sudah suratan takdir dari Allah. Tabah, tawakkal, dan berserah diri padaNya...,” hibur pak Wahyu. 
Wajahnya menyiratkan kedukaan yang dalam.
Sementara bu Wiryo menepuk nepuk pundaknya, seolah memberi kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. “sing sabar ya ndhuk cah ayu. Narimo ing pepesthen saka Gusti Allah, “  bisiknya lagi.
Surti hanya mampu mengangguk. Dipandanginya satu persatu kerabat yang masih menemani di rumah ini dengan sorot mata penuh terima kasih. Kehadiran mereka sangat membantu mengatasi kesedihan akibat kematian suaminya yang mendadak.


####


Setahun kemudian, Surti berkenalan dengan Badrun. Project Officer yang baru di kantor tempatnya bekerja. Laki laki supel dan mudah bergaul yang humoris. Keceriaannya menular ke sebagian besar karyawan kantor. Ada-ada saja ulahnya yang membuat seisi kantor tertawa berderai dibuatnya.
Sedikit demi sedikit, kegembiraan kehangatan suasana kantor mampu menghapuskan mendung di wajah Surti. Dia sudah mampu tersenyum, sesekali menimpali gurauan dan guyonan teman-temannya bila sedang berkumpul saat makan siang. Sering wajahnya bersemu merah bila teman-teman mengoloknya. 

Yaa, Badrun rupanya sedang jatuh hati pada Surti, janda kembang yang rupawan ini. Konyolnya lagi, seisi kantor seakan kompak menjodohkan mereka menjadi pasangan kekasih.

“Jeng Surti, aku mencintaimu. Aku ingin melamarmu, menjadikan belahan jiwaku, menjadi ibu dari anak anakku. Bersediakah kau menikah denganku?“ lembut suara Badrun. 

Tangannya menggenggam jemari Surti, yang menunduk malu.

“Apa Mas sudah mantap memilihku? Apa mas tidak akan menyesal nantinya?“ jawabnya. 

Airmatanya menitik membasahi pipinya. Ingatannya melayang kembali pada mendiang suaminya.
“Tidak,  Jeng, aku sudah tahu semuanya. Aku ingin menghapus kesedihan dari hatimu,“ mantap suara Badrun. 
Akhirnya Surti mengangguk pelan, yang segera disambut pelukan hangat Badrun.

~~~~~

Dua bulan kemudian mereka menikah dengan upacara sederhana. Airmata Surti mengalir deras saat memasuki kamar pengantinnya yang wangi. Dia berusaha keras menghalau bayangan wajah mendiang suaminya. Kini ia milik Badrun sepenuhnya. Ia tak ingin membuat suaminya menyesal telah menikahinya.
Setelah menghapus riasannya, Surti menghampiri Badrun yang sedang duduk di ranjang pengantin. Wajahnya sumringah, tangannya terkembang menyambut Surti. Mereka melewatkan malam itu penuh kehangatan.
Seminggu kemudian, Surti diboyong Badrun ke rumah barunya. Rumah yang khusus dibeli sebagai hadiah pernikahan untuk pengantinnya. Sambil memeluk pundak Surti, Badrun memperkenalkan pengurus rumahnya.  Mereka berkeliling dari satu kamar ke kamar lainnya, membuat Surti begitu terharu.
“Naah, ini kamar kita. Kau boleh mengatur dan menata perabotannya sesukamu. Kau ratu di rumah ini sekarang…,” kata Badrun. 
Tangannya sibuk menyibak tirai jendela, sementara senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya.
Surti tersenyum. “Ini terlalu berlebihan, Mas. Bersamamu aku sudah sangat bahagia….” 
Dihampirinya suaminya, diciumnya mesra.


####

 Tiga bulan berlalu, belum ada tanda-tanda kehamilan di rahim Surti. Kasak kusuk mulai terdengar di antara pengurus rumah Badrun. Yang mandul lah, yang tak bisa membahagiakan suami lah…. Sungguh memerahkan telinga Surti, yang hanya bisa menangis diam-diam di belakang Badrun.
Penderitaan Surti bertambah ketika tiba-tiba saja Badrun jatuh sakit. Badrun baru saja pulang dari kantor pengacara, mengurus balik nama sertifikat tanah dan benda berharganya. Semuanya dialih namakan kepada Surti, istri yang sangat dicintainya.
Semua sibuk. Pak Arman, sopir pribadi Badrun menelpon ambulans, si mbok menyeka tubuh Badrun yang berkeringat dingin. Sementara Surti hanya terdiam mematung. Dia benar-benar syok menghadapi kenyataan ini.
Sesampai di rumah sakit, nyawa Badrun tak tertolong. Dia meninggal dalam perjalanan tanpa sempat mengucap sepatah katapun pada Surti. Tak kuat menghadapi cobaan ini, Surti pun pingsan.


---000---

 
Surti mengunjungi makam Tejo. Ia membawa seikat gladiol putih kesukaan mendiang suaminya. Sambil membersihkan rumput yang tumbuh subur di sekitar nisannya, Surti menahan tangis. Saat memasuki gerbang makam tadi, Pak Arjo memandanginya dengan tatapan sinis. 
“Dasar perempuan baulawean,“ desisnya. 

Surti tak mengerti maksud kalimat itu. Dilanjutkannya melangkah menuju nisan Tejo, tak menggubris perkataan Pak Arjo yang baru saja didengarnya.
Selesai membersihkan makam dan berdoa di sana, Surti bergegas pulang. Mendung yang menggelayut di atas makam membuatnya tak bisa berlama-lama di sana. Apalagi tadi dia lupa membawa payung.
Sepanjang jalan pikiran Surti melayang kemana-mana. Dia sibuk mengingat-ingat apa maksud dan arti dari kalimat yang dilontarkan Pak Arjo. Sampai di rumah pun Surti masih belum menemukan jawabannya. 

Dihampirinya si mbok yang masih setia melayaninya meskipun Badrun sudah meninggal. Setelah meneguk segelas air putih yang disodorkan, Surti mulai tenang.
“Mbok. Apa Mbok tahu apa itu baulawean?“ tanya Surti hati-hati.
Bagaimanapun juga, ia belum bisa bicara blak blak an dengan pembantunya ini.
Si mbok nampak kaget, ada kekhawatiran di raut wajahnya yang mulai menua.
“Kenapa Non menanyakan itu? Siapa yang mengatakan hal itu, Non?“ tanyanya. 
Wajahnya nampak sangat khawatir.
“Tadi waktu di makam mas Tejo, Pak Arjo memaki aku dengan kata itu ….” tutur Surti. 
Wajahnya ikut ikutan was was.
Si Mbok terdiam. Lama sekali. Surti cemas menantikan jawaban Si Mbok. Tetapi sampai Surti beranjak ke pembaringan, jawaban pertanyaan itu belum juga didapatkannya. Si Mbok malah menangis tersedu-sedu, hingga membuat Surti mengurungkan niat untuk mendesak si Mbok.

####

Hampir dua tahun berlalu. Surti masih setia mengunjungi makam Tejo dan juga Badrun. Dia tak lagi menggubris kasak kusuk yang beredar di lingkungan tempat tinggalnya. Diapun tak ingin tahu apa arti umpatan Pak Arjo dulu. Surti hanya ingin hidup tenang, tanpa gangguan. 
Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dua kali menjadi janda membuatnya berhati hati menjalin hubungan dengan laki laki. Rumah peninggalan Tejo sudah dijualnya, begitu juga dengan harta Badrun. Surti tak ingin mengingat kenangan menyakitkan tentang suami suaminya yang meninggal mendadak.
Perkawinannya dengan Tejo hanya berlangsung singkat. Sementara pernikahannya dengan Badrun hanya berlangsung selama tiga bulan. Kedua suaminya meninggal mendadak, hal yang cukup membuat anggapan miring tertuju pada dirinya kini.
……..
Saat dipindahkan ke kantor cabang, Surti menerimanya dengan senang hati. Tak ada kekhawatiran sedikitpun tentang pekerjaannya di kantornya yang baru. Dia berharap kepindahannya ini akan membuat kasak kusuk tentangnya akan mereda.
Setelah berkenalan dengan seluruh karyawan divisi yang dipimpinnya, Surti memasuki ruangannya yang lumayan besar. Beberapa agenda kerja sudah menunggu untuk diselesaikan, dan seharian Surti tenggelam di meja kerja, lupa dengan kesedihan dan kekhawatirannya selama ini.
Si Mbok masih menemaninya di tempat baru. Sesekali Surti masih mencoba bertanya, tetapi si Mbok tak pernah memberikan jawabannya hingga akhirnya Surti bosan. Dia tak berusaha mencari tahu arti umpatan itu.

~~~~~~~

Surti berkenalan dengan Prabu saat menghadiri pameran yang diselenggarakan di balai kota. Laki laki perlente itu mengulurkan segelas teh hangat saat isitirahat siang. Meski ragu, Surti menerima uluran tangan laki laki itu dan menyebutkan namanya.
“Surti….” 
“Aku Prabu. Boleh aku duduk di sini?“ katanya lagi. 
Surti hanya tersenyum.
Mereka segera terlibat dalam obrolan ringan, sesekali tertawa lepas. Seolah-olah perkenalan mereka telah berlangsung lama. Nampak sekali bila Prabu sangat terkesan dengan Surti.
Tak berapa lama, Prabu melamar Surti. Kali ini Surti tak bisa segera mengiyakan lamaran itu. Pikirannya kembali teringat umpatan yang pernah diterimanya dulu. Jujur, dia mulai menyukai Prabu yang kebapakan itu. Tetapi jauh di dalam hatinya Surti khawatir. Dia takut bila suaminya ini akan meninggal juga seperti kedua suami terdahulu.
Setelah mengajukan cuti, Surti kembali ke tanah kelahirannya di pelosok Solo. Yang pertama kali dicarinya adalah kediaman mbah Jingkrak, sesepuh desa. Rumah yang terletak di sudut desa membuat Surti agak kesulitan menemukannya. Maklum, sudah bertahun-tahun dia tak pulang kampung, apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.

Surti mengutarakan maksud kedatangannya.  Ada keterkejutan dalam raut wajah Mbah Jingkrak, tapi segera berubah menjadi tenang kembali. Setelah menyodorkan segelas air putih, diapun mulai merapal mantra. Surti terdiam, bulu kuduknya berdiri semua. Suasana magis di kediaman mbah Jingkrak sangat terasa. Apalagi aroma kemenyan yang dibakar, ditambah suara mbah Jingkrak yang serak, suasana sepi di sekeliling rumah membuat Surti bergidik. Ngeri.
“Sini ndhuk… duduklah membelakangiku,” perintahnya.
Surti tak bergeming. Dia belum tahu maksud mbah Jingkrak.
“Ayolah... sini…kau buka blusmu dan tunjukkan punggungmu pada Mbah ..” perintah mbah Jingkrak. Kali ini nadanya berat dan memaksa.
Surti pun menurut. Perlahan dibukanya baju yang dikenakannya. Mbah Jingkrak dengan hati-hati memeriksa punggung Surti. Wajahnya berkerut-kerut, sementara mulutnya merapal mantra yang entah apa artinya.
“Ndhuk.. sudah berapa kali kau menikah?" tiba-tiba saja mbah Jingkrak bertanya. 
“Dua kali, Mbah.” 
“Lalu dimanakah suamimu sekarang?“ tanya mbah Jingkrak. 
Kali ini sambil meminta Surti mengenakan blusnya kembali.
“Sudah meninggal, Mbah. Sakit mendadak…,” jawab Surti. 
Ia masih tak mengerti maksud pertanyaan itu.
“Begini ya, Ndhuk. Mbah sudah memeriksa tanda lahir di punggungmu…,“ mbah Jingkrak terdiam. 
Lama sekali hingga Surti tak sabar menunggu lanjutan kalimatnya.
“Lalu…?“ 
“Kau itu perempuan baulawean,“ terang mbah Jingkrak hati-hati.
Surti terkejut. 
Seumur umur baru kali ini didengarnya istilah itu. Dengan penuh perhatian didengarkannya penjelasan mbah Jingkrak.
“Perempuan baulawean itu mempunyai tanda berupa gambar ular di punggungnya, Ndhuk. Dia membawa kutukan sejak lahir. Setiap laki-laki yang menikah dengannya akan meninggal dunia. Kadang-kadang di dahului sakit, tetapi ada juga yang mendadak….” Panjang lebar penjelasan mbah Jingkrak. 
Surti hanya melongo. Tak menyangka bila kutukan itu benar benar ada.
“Lalu…. Apa yang harus kulakukan, Mbah?“ keluhnya. 
Airmatanya mulai menetes membasahi pipinya.
“Di dalam rahim perempuan baulawean terdapat sebangsa ular dengan ukuran kecil kira-kira sebesar pensil. Namun bukan sembarang ular karena lebih bersifat metafisik atau bangsa alus.  Kau mungkin tak menyadarinya, begitupun suamimu. Ular metafisik itulah yang menjadi penyebab meninggalnya suamimu….” Penjelasan itu makin membuat Surti pening. 

Dia tak menyangka bila dirinya membawa sial seperti itu. Hatinya seperti tercabik-cabik, apalagi saat diingatnya bagaimana Pak Arjo memandangnya dengan sinis dulu.
Mbah Jingkrak tak meladeni pertanyaan Surti. Ia masih saja melanjutkan keterangannya.
“Penyebab atau asal usul keberadaan ular misterius tersebut berasal dari karma. Bukan karma akan perbuatanmu sendiri, Ndhuk, tetapi bisa juga karma turunan dari orang tuamu, kakek nenekmu atau nenek moyangmu. Kesalahan atau dosa yang penyebab utamanya adalah mulut. Orang sering sekali lepas kontrol, sadar atau tidak, seringkali ucapannya menyakiti hati orang lain dalam kadar yang sangat keterlaluan....”
Surti menangis sesenggukan. 

Dia sungguh tak mengerti kenapa harus menghadapi persoalan seberat ini sendirian. Si mbok hanya bisa mengelus pundaknya, seolah memberikan kekuatan padanya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Mbah…. Tolonglah aku,“ Surti mengiba.
“Apakah kau berencana menikah lagi, Ndhuk?“ tanya mbah Jingkrak hati-hati.
Surti mengangguk. 
Mbah Jingkrak terdiam. Lama sekali. Seolah jawaban itu membuatnya tak bisa berpikir.
Akhirnya mbah Jingkrak menepuk pundak Surti yang masih menangis sesenggukan. 

“Jangan khawatir, Ndhuk. Kita tak bisa menyingkirkan ular misterius itu dari dirimu. Introspeksi dirilah, mintalah maaf pada keluarga yang telah disakiti hatinya oleh leluhurmu. Meskipun ini tak bisa mengobati penderitaanmu, tetapi setidaknya bisa mengurangi karma turunan yang kau sandang, Ndhuk….” 

####

Surti memutuskan menolak pinangan Prabu. Dia tak ingin pria yang diam-diam dicintainya itu mengalami hal yang serupa dengan kedua suaminya terdahulu. Diapun tak berusaha menjelaskan keadaan dirinya, juga karma turunan yang disandangnya.
Setelah mengundurkan diri dari perusahaannya, Surti memilih pindah ke sebuah desa di pelosok. Suasana desa yang tenteram sedikit membantunya melupakan beban dan perasaan berdosa yang makin hari makin membuatnya tak berdaya.
Si Mbok masih setia menemaninya. Uang hasil penjualan rumah pemberian Tejo dibelikannya sepetak sawah. Hasilnya digunakan untuk hidup sehari-hari. 
Sementara harta peninggalan Badrun disimpan sebagian, sebagian lagi disumbangkan ke Rumah Yatim Piatu yang ada di desa itu. 
Sebulan sekali Surti mengunjungi anak-anak malang itu. Dibawakannya mainan, buah-buahan dan buku-buku cerita yang membuat mata mereka bersinar-sinar gembira.
Surti menikmati semuanya, dan melupakan niat berumah tangga kembali.
Aahh…. Baulawean…karma turunan…. Surti sudah tak mempedulikannya lagi.
Percaya atau tidak?

Wallahu alam bissawab….

----00000----




1 komentar:

  1. Agen Slot Terbaik

    Agen Situs Terbaik
    Situs Agen Judi Online


    • Bonus New Member 120%
    • Bonus Deposit Harian 5%
    • Bonus Happy Hour 25%
    • Bonus poker 20%

    Untuk info lebih lanjut bisa menghubungi kami di :
    WA : 081358840484
    Facebook : Game Slot Online
    https://bit.ly/2ZoLZDA

    BalasHapus