Jumat, 02 Desember 2011

Memilih (hanya) menjadi ibu rumah tangga, salahkah ?


Menjadi ibu rumah tangga biasa yang tak mempunyai karier apapun di luar rumah  menjadi pilihan hidup yang terkadang mendapatkan cindiran dan sindiran sinis dari tetangga, sahabat, teman maupun keluarga. Kenapa dengan pilihan ini ? Apakah ada yang salah bila menjadi ibu yang hanya berdiam di rumah mengurus keluarga ?

Suara suara sumbang yang terdengar terkadang memerahkan telinga. Apalagi bila suasana hati dalam kondisi bad mood, ataupun sedang uring uringan sendiri.
Memang, dari kacamata orang lain yang tidak memahami alasan dan keseharian kita, menjadi ibu rumah tangga saja, berarti menjadi beban buat suami, dan mungkin juga buat keluarga karena secara ekonomi tidak produktif. Ibu rumah tangga tidak mempunyai penghasilan sendiri yang bisa menopang ekonomi keluarga.

Terkadang dari sisi psikhologis anak, ibu rumah tangga biasa juga memunculkan perasaan rendah diri, malu, gengsi  karena ibunya bukan wanita karier seperti halnya ibu teman temannya di sekolah.

Sementara suara suara yang mendukung bila seorang wanita memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja tanpa kesibukan di luar rumah, mengisyaratkan bila inilah pilihan yang tepat terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan pendidikan dewasa ini.

Siapa sih yang tidak ingin punya karier sendiri di luar rumah ? Punya jabatan empuk, kedudukan enak, fasilitas lengkap dari kantor, bisa melanglang buana gratis, relasi banyak dan dimana mana ?
Mereka yang mencibir belum tentu menyadari dan memahami bagaimana si wanita karier ini kerepotan membagi waktunya yang rasa rasanya selalu kurang itu. Bagaimana membagi perhatian kepada anak anaknya, suaminya, keluarganya dan juga pekerjaan kantornya. Belum lagi bila harus lembur, keluar kota ataupun keluar negeri menyelesaikan pekerjaan. Bagaimana perang batin yang membuatnya kesulitan untuk memilih antara  karier dan keluarga, sementara dua duanya begitu penting bagi hidupnya ? Terkadang ini memunculkan dilema, yang sangat sangat sulit untuk dipecahkan ataupun ditemukan solusi terbaik untuk masalah itu.

Memang dari kacamata orang luar, wanita karier mempunyai segala yang ingin dipunyai kebanyakan wanita. Setidaknya dia tak perlu merengek pada suami bila menginginkan membeli suatu barang misalnya. Tak perlu menunggu suami gajian bila ingin menambah koleksi sepatu ataupun gaun malam. Bahkan penghasilannya bisa menjadi penopang ekonomi rumah tangga bila kebetulan penghasilan suami termasuk pas pasan.


Tetapi lihatlah perkembangan anak anak kita dewasa ini di luar sana. Berapa banyak dari mereka yang kurang kasih sayang orang tua ? Berapa banyak diantara mereka yang melarikan diri pada pergaulan bebas, obat obatan terlarang, ikut grup motor yang meresahkan masyarakat, tawura, terjerumus pada kejahatan seperti mencuri, merampok, dan yang paling parah mencabuli atau memperkosa ? Ini membuat miris para orang tua yang merasa tak punya banyak waktu luang untuk mengawasi anak anaknya.


Seorang ibu rumah tangga biasa, yang hanya berdiam mengurus rumah dan anak anaknya mempunyai lebih banyak waktu luang untuk memantau dan mengikuti perkembangan kejiwaan anak anaknya. Perubahan sekecil apapun dari anak anaknya tak luput dari perhatian sang ibu. Dengan demikian, setidaknya anak merasa mendapatkan kasih sayang yang dibutuhkannya dari orang tuanya sehingga tidak mencarinya di luaran sana.

Harus dipahami pula alasan mengapa seorang ibu rumah tangga yang notabene wanita itu harus cerdas. Cerdas dalam hal ini bukan pandai dalam hal pendidikan, akan tetapi lebih kepada pintar dalam mencermati perubahan jaman dan mengaplikasikannya kepada pendidikan di keluarganya. Suatu contoh kecil : seorang ibu yang cerdas akan lebih mudah mengerti dan memahami perintah dokter dalam memberikan dosis obat yang tepat kepada anaknya yang sakit. Kapan harus memberikan antibiotic, diet yang tepat, makanan yang dipantang dsb. Seorang  ibu cerdas akan mudah menerima ilmu dan pengertian yang berkaitan dengan perkembangan kejiwaan anak anaknya terutama yang berusia balita. Masa keemasan anak yang tidak akan pernah kembali, sehingga dengan demikian ibu bisa menanamkan budi pekerti dan nilai nilai agama sejak dini pada anaknya.
Belum lagi bagaimana seorang ibu harus menyusun menu makanan untuk keluarga, mengatur budget keuangan, dan beribu pekerjaan lain yang kata orang takkan pernah ada habisnya.

Terkadang dari keluarga terdekatpun cibiran  itu akan didapatkan juga. Bagaimana seorang ibu mertua yang seolah tidak rela bila anak lelakinya mati matian mencari nafkah sementara anak menantunya enak enakan di rumah. Tak perlulah mengaitkan hal ini dengan agama tertentu, tetapi memang sudah kewajiban seorang suamilah yang mencukupi kebutuhan keluarganya.

Memang, tidak semua orang berpandangan sama, ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Itu semua sah sah saja. Sama halnya menyikapi perbedaan itu sendiri, ada yan bisa menerima ataupun berusaha keras untuk menyamakan perbedaan.

Lalu, masihkah ada yang berpandangan bahwa ibu rumah tangga biasa itu sebuah predikat yang rendah di masyarakat ?