Rabu, 29 Februari 2012

Penjara Pintu Biru

Aku berdiri di balik jendela kamarku yang menghadap arah matahari terbit. Sesekali masih kulihat semburat jingga ke kuning keemasan rona mentari yang menyembul di sela gerombolan awan kelabu berarak membentuk mendung pekat. Angin yang berhembus menerbangkan dedaunan menguning luruh menutup hamparan tanah basah.
Aku menghela nafas. Inikah arti sebuah penantian itu ? Penantian yang belum tampak kemana ujungnya bermuara ?
……..

Aku menamainya Penjara Pintu Biru. Di sanalah kutemui bayangmu, dalam lembutnya dekapan dan senyum hangat mentari.

diantara gemulai lambai ilalang
yang menari bersama desau angin menyisir dedaunan
ujung ranting terangguk, menyapu tepian pematang
ditingkah tawa bocah, semarak susuri tanggul sungai kecil
gemericik air, serenade indah nyanyian jiwa tak terkotori
nafsu syak wasangka dan rindu dendam

dalam dekap rayu memagut senja
saat susuri kelok lubuk dan lembah ngarai
berhiaskan butir kabut menggumpal
menapaki dinginnya malam

dan ragapun terkulai sudah

Harum segar tubuhmu, binar sorot matamu, bagai berlembar tarian huruf di kertas kerja sang penyembuh, menjelma dalam ampul cairan injeksi, berbutir tablet dan ratusan kapsul. Kaulah segala obat itu bagiku.
Sungguh, bersamamu kutemukan oase, tempat dahaga kutuntaskan. Kubasahi gersang hati ini dengan butir air berembunmu, sesejuk kecupan halimun di penghujung hari. Tak kan ragu ku berenang di danau cintamu, seakan hendak kutuntaskan segala gelora yang mengendap di jantungku.

sini…. Sayangku. Rebahlah dalam teluk kasihku. Reguk bersama kehangatan tungku cinta kita…..” sapamu, hampir selembut ayunan kapas yang melambai bersama siulan bayu. Hanya senyum yang mampu kulakukan. Sungguh, apalagi yang bisa ku perbuat ??

#####

mas Na…..” desahku. Hampir tak mampu sibakkan senyap. Desau angin ini terlalu kuat, sekeras apapun kucoba teriakkan namamu.
Aku masih berdiri di balik jendela kamarku yang menghadap arah matahari terbit. Sesekali masih kulihat semburat jingga ke kuning keemasan rona mentari yang menyembul di sela gerombolan awan kelabu berarak membentuk mendung pekat. Angin masih berhembus menerbangkan dedaunan menguning luruh menutup hamparan tanah basah.

……….

Kilat sibakkan gelapnya langit, gemuruhpun robekkan kesunyian sekeliling. Tiba tiba ….dduuuuaaaarrrr….. petirpun ikut mewarnai ujung malam berkabut itu. Aku tersadar. “ astaghfirullah hal adziem…., ampuni aku ya Allah…” lamunan telah membawaku mengembara ke dunia angan.

Kini aku berdiri di halaman, disamping hamparan sawah hampir menguning, bersama paman petani dan istri mereka, bersenda gurau mengusir kawanan pipit yang berombongan mengayun batang padi, yang makin merunduk keberatan beban.
Senyum cerah mereka menyadarkanku, tak ada kesedihan yang tak teratasi, tak ada kesusahan yang tak terhapuskan. Sederhana cara mereka, akankah aku bisa mengikutinya ??
---000---


NB : thank you for Farrah, this story of your life

13305737561519647021

Jumat, 24 Februari 2012

Setengah Mati Merindu [ Penantian di Candi Plaosan ]

Tyas mematikan ponselnya. Dipandanginya gerbang masuk ke candi Plaosan sekali lagi, barangkali yang ditunggunya sejak tadi akan muncul di sana. Tetapi tak ada seorangpun yang menjumpainya. Dia mendesah. Lalu dengan lesu, diseretnya langkah kaki meninggalkan halaman candi. Kembali hatinya diliputi kegundahan yang luar biasa.
“ Sampai kapan penantian ini akan berakhir ? “ desisnya lirih. Dipandanginya langit yang mulai semburat jingga. Hari ini hujan tak turun, senja menjadi lebih indah dengan candik ala yang merona. Sesekali melintas burung sriti yang bergegas menuju sarangnya, ditingkah cericit kelelawar yang memburu nyamuk. Debu berhamburan di jalanan, tetapi semua tak dihiraukannya.

mungkin kau bukanlah jodohku
bukan takdirku
terus terang, aku merindukanmu
setengah mati merindu ……
[ Setengah Mati Merindu – Judika ]

Tyas bersenandung mengikuti syair lagu Judika…. Sesekali ia tersenyum pada para petani yang melintas atau berpapasan dengannya. Hamparan sawah di depannya sudah mulai menguning, sebentar lagi mereka akan memanen hasil kerja kerasnya selama beberapa bulan.
“ eh non Tyas. Kemana saja selama ini non ? Kok lama nggak pernah kelihatan ? “ kang Arjo menyapa ramah. Disalaminya tangan gadis itu.
Mereka segera berbincang akrab. Sambil menyusuri jalan setapak diantara pematang sawah, kang Arjo banyak bercerita ngalor ngidul. Terlebih setelah tahu Tyas baru saja mengunjungi candi Plaosan.
……..

“ dahulu, orang tua kita sering berpesan kalau pacaran jangan pergi ke candi. Pamali katanya. Mereka percaya bila hubungan itu akan putus di tengah jalan atau cerai non….” Urai kang Arjo panjang lebar.
“ ah. Masa sih…? “ Tyas memotong. Rasanya hal itu tak masuk akal sehatnya.
betul non. Tetapi itu duluuuu. Waktu kang Arjo masih kecil…”
“ tapi kenapa kang ? bukankah candi ini cantik banget….coba kang Arjo lihat sendiri. Di waktu senja begini, candi itu kelihatan anggun, seakan putri yang sedang bersolek menunggu kekasihnya … “ kata Tyas. Pandangannya kembali menoleh ke belakang, mengagumi keindahan candi Plaosan.
“ mitos itu sudah lama dilupakan orang jeng…” suara bariton yang berat mengejutkan mereka. Rupanya Bram mengikuti di belakang tanpa mereka sadari sebelumnya.
Pipi Tyas merona merah, dan kang Arjo berdehem menggodanya…..
#####

“ ketahuilah, kedua candi Plaosan ini memancarkan aura cinta kasih. Candi ini merupakan perwujudan cinta kasih sang raja kepada permaisurinya. Bayangkan saja….. di jaman dulu kala, mereka sudah mengenal apa artinya toleransi beragama…..” jelas Bram. Tentu saja dia sangat paham, pekerjaannya menuntutnya menguasai seluk beluk pariwisata di Indonesia.
“ kenapa begitu ? “ kening Tyas berkerut. Heran.
sang raja Rakay Pikatan beragama Hindu, sementara permaisurinya Pramudya Wardhani beragama Buddha…” beber Bram. Tangannya begitu saja mencubit ujung hidung Tyas.
Diam diam kang Arjo berlalu di belakang mereka. Dia tak ingin mengganggu perbincangan yang mengingatkannya pada kisah kasihnya yang tak tersampai.
……………
Dulu sewaktu masih sama sama SMA, kang Arjo pernah naksir berat pada Tyas, gadis paling manis di kampungnya. Rupanya gayung bersambut, cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Mereka berpacaran backstreet, karena orang tua Tyas yang orang terpandang di kampung tak menyetujui hubungan mereka.
Tetapi Tyas tetap menjalin hubungan dengan kang Arjo, putra pemain kethoprak yang beristri dua. Itulah alasan yang mendasari orang tua Tyas mati matian memisahkan mereka. Hingga pada akhirnya kang Arjo menjauh setelah orang tua Tyas mengancamnya agar menjauhi anak semata wayangnya.
Lama tak terdengar khabar berita, tiba tiba saja Tyas muncul di hadapannya. Wajahnya masih sesegar dulu, tak banyak berubah. Badannya juga masih langsing, dan senyumnya masih saja mampu merontokkan jantung Arjo. Seperti sore ini, saat tak sengaja bertemu di perjalanan pulang dari sawah garapannya.
#####

Bram masih sibuk menerangkan mitos tentang candi Plaosan. Tyas hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum. Gaya bicara Bram sangat menarik, tangannya tak henti bergerak gerak seperti sedang menari. Seakan akan dia sedang berbicara didepan turis yang dipandunya.
perbedaan diantara raja dan permaisuri itu tidak mempengaruhi cinta mereka. Masing masing bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya sehingga kehidupan asmara mereka tetap berjalan baik. Dan kau tahu …. Mereka bisa menumbuhkan benih benih cinta sejati…”
lalu ? “ timpal Tyas.
setelah mereka meninggal, orang orang memandang candi Plaosan sebagai perwujudan cinta suci antara lelaki dan perempuan. Itulah kenapa banyak sekali pengunjung yang berpasang pasangan dating ke tempat itu, untuk mendapatkan tuah dari raja dan permaisuri yang meninggal. Kabarnya pula……” Bram sengaja menghentikan ucapannya. Dipandanginya Tyas, mencoba mencari reaksi di wajahnya.
Sejurus kemudian, Bram melanjutkan ceritanya. Kabarnya pasangan yang sering berselisih dianjurkan mengunjungi candi Plaosan. Katanya mereka akan kembali mesra sepulang dari sana…..”
Tyas terdiam. Lama. Pikirannya sibuk menerawang, mengingat kejadian demi kejadian yang dialaminya beberapa tahun silam.
katanya lagi…. Ini katanya lhooo… pengunjung yang masih lajang akan mendapatkan jodoh yang diharapkan..” seloroh Bram. Tyas tersenyum. Dia tahu apa maksud perkataan laki laki itu.
………………….


1330062106694365918
doc koleksi pribadi


Tyas memutuskan untuk kembali ke Kotabumi, tempat selama ini ia mengasingkan diri dari orang orang yang mengenalnya. Perih hatinya karena patah hati dulu belum sepenuhnya pulih. Dia masih menyimpan marah dan benci pada orang tuanya. Tyas menganggap kedua orang tuanya tak realis menyikapi jalinan cintanya. Benarkah ??
Kenyataannya kini apa yang dikatakan orang tuanya benar adanya. Kang Arjo yang telah menikah, ternyata telah mendua. Bahkan istri mudanya tengah hamil, sementara istri tuanya baru saja melahirkan.
Kali ini Tyas benar benar berterimakasih atas larangan itu. Mungkin, dirinyalah yang akan mengalami nasib seperti istri kang Arjo sekarang bila dulu dia nekat menikah.
Sementara Bram, laki laki yang mendekatinya belakangan ini, masih menyisakan berjuta tanya di hati Tyas. Laki laki itu memang baik, humoris, dan kelihatannya bertanggung jawab. Cuma sayangnya, dia tak pernah sekalipun ‘menembaknya’. Tyas tak ingin salah mengartikan kebaikan dan kedekatan di antara mereka.

Dipandanginya tetes hujan dari balik jendela kamarnya. Hujan yang turun sejak semalam membuatnya enggan beranjak. Panggilan telepon di hapenya sejak tadi tak dihiraukannya. Pikirannya ngelantur kemana mana.
aahh…” desahnya. Dikibaskannya bayangan buruk yang melintas di kepalanya.
Ting tong….ting tong….. bel rumah berbunyi nyaring. Tyas mengacuhkannya. Mbok Yem yang tergopoh gopoh membukakan pintu depan. Disana ada Bram, tegak berdiri dengan pakaian basah kuyup. Mbok Yem mempersilahkan Bram yang belum pernah dilihatnya untuk duduk di kursi teras, sementara dia memanggil Tyas.
non. Ada tamu untuk non…. “ kata mbok Yem.
siapa mbok ?? Kenapa tak disuruh masuk saja ? “
Tyas segera menuju ke ruang depan.

Mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku
Apakah aku terlalu, terlalu banyak berkelana
Mengapa kita masih saja tak pernah bersatu…

Dari arah teras sayup sayup mengalun lagu Setengah Mati Merindu – Judika, lagu kesukaannya. Tyas terbelalak, tak menyangka bila Bram benar benar mencarinya hingga ke sini. Disongsongnya pemuda itu, lalu ditariknya masuk ke ruang tamu. Tak dipedulikannya lantai yang menjadi basah.
Tyas menjadi sangat sibuk. Dicarinya handuk bersih, juga pakaian ganti. Diulurkannya pada Bram, dan mempersilahkannya membersihkan diri. Mbok Yem juga tak kalah sibuknya. Dia menyeduh kopi panas, dan menyiapkan beberapa penganan panas untuk Bram.

#####

kedatangan Bram memang benar benar di luar dugaan Tyas. Dia rela capek capek menempuh perjalanan sangat panjang hanya untuk menjumpai Tyas.
Tyas, maukah kau menjadi ibu dari anak anakku kelak ? “ Bram langsung menyatakan isi hatinya. Wajahnya nampak sangat serius, hingga Tyas menahan tawa yang hampir keluar dari bibirnya.
tapiii….” Belum sempat Tyas menyelesaikan kalimatnya, Bram mengibaskan tangannya.
aku sudah menemui kedua orang tuamu. Sudah kuutarakan maksudku untuk meminangmu.Beliau menyetujui dan menyerahkan keputusan ini padamu. Bagaimana ?? “ sorot mata penuh harap nampak di wajah Bram. Kemana wajah dan mata jenaka yang selama ini selalu menghiasi wajahnya ?
Tyas terdiam cukup lama. Hatinya sibuk menimbang nimbang jawaban apa yang akan dia berikan pada Bram. Sampai mbok Yem mempersilahkan mereka sarapan pun, Tyas belum juga memberikan jawaban.
Akhirnya Tyas mengangguk. Mereka berjalan menyusuri kebun kopi yang bersebelahan dengan kebun rambutan. Hujan telah reda, menyisakan jalan setapak yang licin. Sesekali Bram menggandeng tangan Tyas, sambil menggodanya.
“ kembalilah ke Jogja. Kita akan membesarkan anak anak kita di sana “ kata Bram.
“ di kebun ini, hatiku tertambat Bram ….” Sahut Tyas.
Bram tersenyum. Diraihnya jemari Tyas. “ Kelak, kita akan menghabiskan hari tua berdua di sini….” bisiknya pelan.
#####

Kini mereka kembali menyusuri pematang, menuju ke candi Plaosan. Mereka ingin cinta mereka abadi, sama halnya dengan cinta sang raja pada permaisuri.
Candi Plaosan, lambang penyatuan dua perbedaan , menumbuhkan benih benih cinta sejati.


1330062002292300409
gambar dari google


---000---

Rabu, 22 Februari 2012

Membelai senja di Kraton Boko [edisi Ngidam]


Miranti memandangi  tetes hujan dari balik jendela kamarnya pagi itu. Wajahnya muram, pelupuk matanya bengkak sisa tangis semalaman. Hatinya sakit, perih tercabik cabik oleh kemarahan Wahyu. Sebenarnya keinginannya sederhana. Miranti ingin bisa menikmati sunrise dan sunset di perbukitan kawasan Kraton Boko yang legendaris. Mudah bukan ??
Masalahnya, ini minggu yang sibuk bagi Wahyu. Sebagai auditor, dia dituntut menyelesaikan audit proyek pembangunan jembatan penghubung di kabupaten yang ditengarai sarat praktek korupsi. Pak Baroto sudah mengultimatum, agar menyerahkan hasilnya besok hari Jum’at. Duuh, bagaimana ini ? Wahyu betul betul bingung.
…………
Wahyu teringat saat pertama kali mereka jadian. Saat itu ujian semester baru saja usai. Wahyu mengajak Miranti bertamasya ke kompleks Kraton Boko yang eksotik. Panas terik siang itu tak mereka hiraukan saat mendaki anak tangga yang jumlahnya ratusan. Peluh Miranti bercucuran, mukanya merona merah, beberapa helai rambutnya menempel di tengkuknya yang basah oleh keringat. Cantik sekali.
Capek dan panas itupun segera sirna begitu mereka tiba di pelataran Kraton Boko. Angin berhembus semilir di keteduhan pepohonan yang rimbun, ditambah lagi pemandangan alam yang sangat elok saat memandang ke kejauhan. Candi Prambanan, gunung Merapi, Merbabu, juga birunya laut selatan nampak sangat mempesona.
  Miranti, maukah kau jadi pacarku ? “ lembut suara Wahyu. Dia berlutut di hadapan gadisnya, tangannya mengulurkan seikat bunga liar yang sempat di petiknya saat mendaki bukit tadi.
Miranti terperangah, tak menyangka bila pemuda yang diam diam dicintainya itu menembaknya secepat ini. Dia terdiam. Dipandanginya mata Wahyu, mencoba mencari kejujuran di sorot matanya. Miranti pun mengangguk, membuat Wahyu melonjak kegirangan. Dipeluknya gadis itu, dan dikecupnya dahinya.
#####

Membelai senja, berbalutkan semburat jingga
Saat mentari mengecup kaki langit, segra menyongsong peraduan
silhouette pepohonan membayang
sembunyikan rona wajahmu, senyum dikulum
bilur bilur cinta tlah terbuhul indah

Tak sengaja Wahyu membaca sepenggal puisi di laptop Miranti yang terbuka.  Wahyu terhenyak. Dia tak menyangka bila keingingan Miranti begitu kuat untuk pergi ke tempat mereka jadian dulu. Puisi itu, puisi yang dituliskannya di selembar kertas dan diselipkannya k etas Miranti saat mereka pulang. Ternyata Miranti masih menyimpan tulisan itu. Bahkan sekarang di simpannya di file komputernya.
  aahh…” Wahyu menghela nafas. “ kenapa Miranti akhir akhir ini makin aneh saja permintaannya ? “ keluhnya lagi.
……..

Setelah menyerahkan laporan hasil audit pada pak Baroto, Wahyu memutuskan mengambil cuti tahunannya. Sengaja tak diberitahukannya hal ini pada Miranti, ia ingin memberinya kejutan yang menyenangkan.
Selepas mandi, Wahyu mengajak Miranti keluar. Sambil bernyanyi nyanyi kecil dilajukannya arah mobil ke Jogja. Miranti belum menyadarinya, karena sejak tadi dia sibuk dengan hape di tangannya. Sejurus kemudian dia tertidur, membuat Wahyu tersenyum. Rencananya akan berhasil kali ini.
  Mir.. bangun sayang. Kau tak ingin melihatnya ? “ digoyangkannya tubuh Miranti yang segera membelalakkan mata indahnya. Dikucek kuceknya, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya kali ini. Mobil mereka berada di punggung bukit, menghadap arah matahari terbit di kompleks Kraton Boko. Ufuk timur yang kemerahan, cericit burung terbang ke luar sarang untuk mencari makan, ditingkah gemericik suara air mengalir di sela bebatuan ….. sungguh luar biasa. Jauh di bawah sana, Candi Prambanan tegak berselimut kabut, sementara gunung Merapi dan Merbabu berpayungkan asap putih berarak, memantulkan warna jingga dari matahari pagi.
Miranti tersenyum senang. Direntangkannya kedua tangannya, dihirupnya sejuk udara pagi yang masih bebas dari polusi. Segar sekali.
Wahyu sudah menghilang sejak tadi, tanpa disadarinya.
#####

Kraton Boko, sebuah situs purbakala yang belum banyak dilirik oleh wisatawan domestik. Bisa kita bandingkan berapa jumlah wisatawan domestik dengan wisatawan mancanegara yang mengunjungi tempat itu.
Situs ini merupakan kompleks profane, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian hingga pagar pelindung. Terletak di dataran tinggi lereng bukit, yang menggambarkan betapa besarnya kerajaan itu, dan alasan pemilihan lokasi yang strategis. Ada beberapa tanda yang ditemukan,seperti parit kering dan sisa bangunan serupa benteng yang dimaksudkan untuk keamanan tambahan.
Gerbang utamanya sangat cantik, terbuat dari batu, dibangun di atas dua tingkat. Adapula teras yang dipisahkan oleh dinding batu dan bebatuan sebagai benteng. Ada pula candi Hindu kecil dan candi Buddha, air mancur di tempat mandi, krematorium, beberapa gua dan beberapa ruang public.
Miranti masih mengagumi keindahan alam dihadapannya dengan senyum mengembang. Sesekali dielusnya perutnya perlahan.
 “ tunggu ya nak, sebentar lagi papamu akan mengetahui kehadiranmu “  bisiknya lembut. 
Wahyu yang sedang berjalan ke arahnya berhenti melangkah. Dia tak percaya pada apa yang dilihatnya barusan.
 Segera diburunya Miranti, diguncang guncangnya pundaknya.
Miranti tersenyum lebar. Dipeluknya Wahyu dengan penuh kasih. Diulurkannya amplop putih yang diambilnya dari saku bajunya.
Wahyu segera menyambar amplop itu dan membacanya. Wajah lelahnya segera berubah. Matanya berbinar, senyumnya mengembang.
“ benarkah …benarkah ini ? Alhamdulillah ya Allah…..” Wahyu mengucap syukur, lalu mengecup kening istrinya. Mesra sekali.
Digandengnya Miranti berkeliling. Rasa kesal, mangkel dan marah yang sejak beberapa hari ditahannya menguap sudah. Rupanya ini bawaan bayi, Miranti juga tak menyadari bila dia sedang ngidam.
#####

Sorenya Wahyu kembali mengajak Miranti mengunjungi Kraton Boko. Kali ini pemandangannya lebih eksotik dan mengagumkan dibandingkan pagi hari. Matahari yang mulai tenggelam di arah barat meninggalkan warna jingga, indah sekali. Dedaunan yang masih nampak basah sisa hujan tadi siang memantulkan cahaya yang sangat elok dipandang. Angin bertiup menggoyang ranting, pucuk pucuk daun dan meluruhkan tetes air ke tanah.
Miranti berdiri diam dalam pelukan suaminya. Dielusnya perutnya perlahan. Semoga nanti setelah lahir kau tidak ngeces ya nak … bisiknya.

 ---000---

Minggu, 19 Februari 2012

Baulawean


Surti terduduk lesu di pinggir ranjang. Rambutnya berantakan, gaun yang dikenakannya kusut masai. Air matanya tak henti mengalir membasahi pipi yang pucat. Beberapa kerabat masih hilir mudik di ruang tamu rumahnya, merapikan kursi dan perabotan.
 Jasad mendiang suaminya baru saja dihantarkan ke makam di sudut desa. Tejo, suami yang sangat dicintainya telah mendahului menghadap Illahi. Tak ada tanda-tanda jika Tejo menderita suatu penyakit. Selama ini ia sehat, sedang mesra mesranya menjalani kehidupan rumah tangga.
“Aahh…,” keluh Surti. Dikibaskan tangannya seolah ingin menghalau bayangan hitam di depan mata.
Ia menghampiri meja rias, membersihkan sisa tangis di wajahnya, lalu melangkah ke luar kamar. Beberapa kerabat segera menyongsongnya dan membantu duduk di kursi  tamu. 
“Sabar ya Jeng, ini sudah suratan takdir dari Allah. Tabah, tawakkal, dan berserah diri padaNya...,” hibur pak Wahyu. 
Wajahnya menyiratkan kedukaan yang dalam.
Sementara bu Wiryo menepuk nepuk pundaknya, seolah memberi kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. “sing sabar ya ndhuk cah ayu. Narimo ing pepesthen saka Gusti Allah, “  bisiknya lagi.
Surti hanya mampu mengangguk. Dipandanginya satu persatu kerabat yang masih menemani di rumah ini dengan sorot mata penuh terima kasih. Kehadiran mereka sangat membantu mengatasi kesedihan akibat kematian suaminya yang mendadak.


####


Setahun kemudian, Surti berkenalan dengan Badrun. Project Officer yang baru di kantor tempatnya bekerja. Laki laki supel dan mudah bergaul yang humoris. Keceriaannya menular ke sebagian besar karyawan kantor. Ada-ada saja ulahnya yang membuat seisi kantor tertawa berderai dibuatnya.
Sedikit demi sedikit, kegembiraan kehangatan suasana kantor mampu menghapuskan mendung di wajah Surti. Dia sudah mampu tersenyum, sesekali menimpali gurauan dan guyonan teman-temannya bila sedang berkumpul saat makan siang. Sering wajahnya bersemu merah bila teman-teman mengoloknya. 

Yaa, Badrun rupanya sedang jatuh hati pada Surti, janda kembang yang rupawan ini. Konyolnya lagi, seisi kantor seakan kompak menjodohkan mereka menjadi pasangan kekasih.

“Jeng Surti, aku mencintaimu. Aku ingin melamarmu, menjadikan belahan jiwaku, menjadi ibu dari anak anakku. Bersediakah kau menikah denganku?“ lembut suara Badrun. 

Tangannya menggenggam jemari Surti, yang menunduk malu.

“Apa Mas sudah mantap memilihku? Apa mas tidak akan menyesal nantinya?“ jawabnya. 

Airmatanya menitik membasahi pipinya. Ingatannya melayang kembali pada mendiang suaminya.
“Tidak,  Jeng, aku sudah tahu semuanya. Aku ingin menghapus kesedihan dari hatimu,“ mantap suara Badrun. 
Akhirnya Surti mengangguk pelan, yang segera disambut pelukan hangat Badrun.

~~~~~

Dua bulan kemudian mereka menikah dengan upacara sederhana. Airmata Surti mengalir deras saat memasuki kamar pengantinnya yang wangi. Dia berusaha keras menghalau bayangan wajah mendiang suaminya. Kini ia milik Badrun sepenuhnya. Ia tak ingin membuat suaminya menyesal telah menikahinya.
Setelah menghapus riasannya, Surti menghampiri Badrun yang sedang duduk di ranjang pengantin. Wajahnya sumringah, tangannya terkembang menyambut Surti. Mereka melewatkan malam itu penuh kehangatan.
Seminggu kemudian, Surti diboyong Badrun ke rumah barunya. Rumah yang khusus dibeli sebagai hadiah pernikahan untuk pengantinnya. Sambil memeluk pundak Surti, Badrun memperkenalkan pengurus rumahnya.  Mereka berkeliling dari satu kamar ke kamar lainnya, membuat Surti begitu terharu.
“Naah, ini kamar kita. Kau boleh mengatur dan menata perabotannya sesukamu. Kau ratu di rumah ini sekarang…,” kata Badrun. 
Tangannya sibuk menyibak tirai jendela, sementara senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya.
Surti tersenyum. “Ini terlalu berlebihan, Mas. Bersamamu aku sudah sangat bahagia….” 
Dihampirinya suaminya, diciumnya mesra.


####

 Tiga bulan berlalu, belum ada tanda-tanda kehamilan di rahim Surti. Kasak kusuk mulai terdengar di antara pengurus rumah Badrun. Yang mandul lah, yang tak bisa membahagiakan suami lah…. Sungguh memerahkan telinga Surti, yang hanya bisa menangis diam-diam di belakang Badrun.
Penderitaan Surti bertambah ketika tiba-tiba saja Badrun jatuh sakit. Badrun baru saja pulang dari kantor pengacara, mengurus balik nama sertifikat tanah dan benda berharganya. Semuanya dialih namakan kepada Surti, istri yang sangat dicintainya.
Semua sibuk. Pak Arman, sopir pribadi Badrun menelpon ambulans, si mbok menyeka tubuh Badrun yang berkeringat dingin. Sementara Surti hanya terdiam mematung. Dia benar-benar syok menghadapi kenyataan ini.
Sesampai di rumah sakit, nyawa Badrun tak tertolong. Dia meninggal dalam perjalanan tanpa sempat mengucap sepatah katapun pada Surti. Tak kuat menghadapi cobaan ini, Surti pun pingsan.


---000---

 
Surti mengunjungi makam Tejo. Ia membawa seikat gladiol putih kesukaan mendiang suaminya. Sambil membersihkan rumput yang tumbuh subur di sekitar nisannya, Surti menahan tangis. Saat memasuki gerbang makam tadi, Pak Arjo memandanginya dengan tatapan sinis. 
“Dasar perempuan baulawean,“ desisnya. 

Surti tak mengerti maksud kalimat itu. Dilanjutkannya melangkah menuju nisan Tejo, tak menggubris perkataan Pak Arjo yang baru saja didengarnya.
Selesai membersihkan makam dan berdoa di sana, Surti bergegas pulang. Mendung yang menggelayut di atas makam membuatnya tak bisa berlama-lama di sana. Apalagi tadi dia lupa membawa payung.
Sepanjang jalan pikiran Surti melayang kemana-mana. Dia sibuk mengingat-ingat apa maksud dan arti dari kalimat yang dilontarkan Pak Arjo. Sampai di rumah pun Surti masih belum menemukan jawabannya. 

Dihampirinya si mbok yang masih setia melayaninya meskipun Badrun sudah meninggal. Setelah meneguk segelas air putih yang disodorkan, Surti mulai tenang.
“Mbok. Apa Mbok tahu apa itu baulawean?“ tanya Surti hati-hati.
Bagaimanapun juga, ia belum bisa bicara blak blak an dengan pembantunya ini.
Si mbok nampak kaget, ada kekhawatiran di raut wajahnya yang mulai menua.
“Kenapa Non menanyakan itu? Siapa yang mengatakan hal itu, Non?“ tanyanya. 
Wajahnya nampak sangat khawatir.
“Tadi waktu di makam mas Tejo, Pak Arjo memaki aku dengan kata itu ….” tutur Surti. 
Wajahnya ikut ikutan was was.
Si Mbok terdiam. Lama sekali. Surti cemas menantikan jawaban Si Mbok. Tetapi sampai Surti beranjak ke pembaringan, jawaban pertanyaan itu belum juga didapatkannya. Si Mbok malah menangis tersedu-sedu, hingga membuat Surti mengurungkan niat untuk mendesak si Mbok.

####

Hampir dua tahun berlalu. Surti masih setia mengunjungi makam Tejo dan juga Badrun. Dia tak lagi menggubris kasak kusuk yang beredar di lingkungan tempat tinggalnya. Diapun tak ingin tahu apa arti umpatan Pak Arjo dulu. Surti hanya ingin hidup tenang, tanpa gangguan. 
Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dua kali menjadi janda membuatnya berhati hati menjalin hubungan dengan laki laki. Rumah peninggalan Tejo sudah dijualnya, begitu juga dengan harta Badrun. Surti tak ingin mengingat kenangan menyakitkan tentang suami suaminya yang meninggal mendadak.
Perkawinannya dengan Tejo hanya berlangsung singkat. Sementara pernikahannya dengan Badrun hanya berlangsung selama tiga bulan. Kedua suaminya meninggal mendadak, hal yang cukup membuat anggapan miring tertuju pada dirinya kini.
……..
Saat dipindahkan ke kantor cabang, Surti menerimanya dengan senang hati. Tak ada kekhawatiran sedikitpun tentang pekerjaannya di kantornya yang baru. Dia berharap kepindahannya ini akan membuat kasak kusuk tentangnya akan mereda.
Setelah berkenalan dengan seluruh karyawan divisi yang dipimpinnya, Surti memasuki ruangannya yang lumayan besar. Beberapa agenda kerja sudah menunggu untuk diselesaikan, dan seharian Surti tenggelam di meja kerja, lupa dengan kesedihan dan kekhawatirannya selama ini.
Si Mbok masih menemaninya di tempat baru. Sesekali Surti masih mencoba bertanya, tetapi si Mbok tak pernah memberikan jawabannya hingga akhirnya Surti bosan. Dia tak berusaha mencari tahu arti umpatan itu.

~~~~~~~

Surti berkenalan dengan Prabu saat menghadiri pameran yang diselenggarakan di balai kota. Laki laki perlente itu mengulurkan segelas teh hangat saat isitirahat siang. Meski ragu, Surti menerima uluran tangan laki laki itu dan menyebutkan namanya.
“Surti….” 
“Aku Prabu. Boleh aku duduk di sini?“ katanya lagi. 
Surti hanya tersenyum.
Mereka segera terlibat dalam obrolan ringan, sesekali tertawa lepas. Seolah-olah perkenalan mereka telah berlangsung lama. Nampak sekali bila Prabu sangat terkesan dengan Surti.
Tak berapa lama, Prabu melamar Surti. Kali ini Surti tak bisa segera mengiyakan lamaran itu. Pikirannya kembali teringat umpatan yang pernah diterimanya dulu. Jujur, dia mulai menyukai Prabu yang kebapakan itu. Tetapi jauh di dalam hatinya Surti khawatir. Dia takut bila suaminya ini akan meninggal juga seperti kedua suami terdahulu.
Setelah mengajukan cuti, Surti kembali ke tanah kelahirannya di pelosok Solo. Yang pertama kali dicarinya adalah kediaman mbah Jingkrak, sesepuh desa. Rumah yang terletak di sudut desa membuat Surti agak kesulitan menemukannya. Maklum, sudah bertahun-tahun dia tak pulang kampung, apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.

Surti mengutarakan maksud kedatangannya.  Ada keterkejutan dalam raut wajah Mbah Jingkrak, tapi segera berubah menjadi tenang kembali. Setelah menyodorkan segelas air putih, diapun mulai merapal mantra. Surti terdiam, bulu kuduknya berdiri semua. Suasana magis di kediaman mbah Jingkrak sangat terasa. Apalagi aroma kemenyan yang dibakar, ditambah suara mbah Jingkrak yang serak, suasana sepi di sekeliling rumah membuat Surti bergidik. Ngeri.
“Sini ndhuk… duduklah membelakangiku,” perintahnya.
Surti tak bergeming. Dia belum tahu maksud mbah Jingkrak.
“Ayolah... sini…kau buka blusmu dan tunjukkan punggungmu pada Mbah ..” perintah mbah Jingkrak. Kali ini nadanya berat dan memaksa.
Surti pun menurut. Perlahan dibukanya baju yang dikenakannya. Mbah Jingkrak dengan hati-hati memeriksa punggung Surti. Wajahnya berkerut-kerut, sementara mulutnya merapal mantra yang entah apa artinya.
“Ndhuk.. sudah berapa kali kau menikah?" tiba-tiba saja mbah Jingkrak bertanya. 
“Dua kali, Mbah.” 
“Lalu dimanakah suamimu sekarang?“ tanya mbah Jingkrak. 
Kali ini sambil meminta Surti mengenakan blusnya kembali.
“Sudah meninggal, Mbah. Sakit mendadak…,” jawab Surti. 
Ia masih tak mengerti maksud pertanyaan itu.
“Begini ya, Ndhuk. Mbah sudah memeriksa tanda lahir di punggungmu…,“ mbah Jingkrak terdiam. 
Lama sekali hingga Surti tak sabar menunggu lanjutan kalimatnya.
“Lalu…?“ 
“Kau itu perempuan baulawean,“ terang mbah Jingkrak hati-hati.
Surti terkejut. 
Seumur umur baru kali ini didengarnya istilah itu. Dengan penuh perhatian didengarkannya penjelasan mbah Jingkrak.
“Perempuan baulawean itu mempunyai tanda berupa gambar ular di punggungnya, Ndhuk. Dia membawa kutukan sejak lahir. Setiap laki-laki yang menikah dengannya akan meninggal dunia. Kadang-kadang di dahului sakit, tetapi ada juga yang mendadak….” Panjang lebar penjelasan mbah Jingkrak. 
Surti hanya melongo. Tak menyangka bila kutukan itu benar benar ada.
“Lalu…. Apa yang harus kulakukan, Mbah?“ keluhnya. 
Airmatanya mulai menetes membasahi pipinya.
“Di dalam rahim perempuan baulawean terdapat sebangsa ular dengan ukuran kecil kira-kira sebesar pensil. Namun bukan sembarang ular karena lebih bersifat metafisik atau bangsa alus.  Kau mungkin tak menyadarinya, begitupun suamimu. Ular metafisik itulah yang menjadi penyebab meninggalnya suamimu….” Penjelasan itu makin membuat Surti pening. 

Dia tak menyangka bila dirinya membawa sial seperti itu. Hatinya seperti tercabik-cabik, apalagi saat diingatnya bagaimana Pak Arjo memandangnya dengan sinis dulu.
Mbah Jingkrak tak meladeni pertanyaan Surti. Ia masih saja melanjutkan keterangannya.
“Penyebab atau asal usul keberadaan ular misterius tersebut berasal dari karma. Bukan karma akan perbuatanmu sendiri, Ndhuk, tetapi bisa juga karma turunan dari orang tuamu, kakek nenekmu atau nenek moyangmu. Kesalahan atau dosa yang penyebab utamanya adalah mulut. Orang sering sekali lepas kontrol, sadar atau tidak, seringkali ucapannya menyakiti hati orang lain dalam kadar yang sangat keterlaluan....”
Surti menangis sesenggukan. 

Dia sungguh tak mengerti kenapa harus menghadapi persoalan seberat ini sendirian. Si mbok hanya bisa mengelus pundaknya, seolah memberikan kekuatan padanya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Mbah…. Tolonglah aku,“ Surti mengiba.
“Apakah kau berencana menikah lagi, Ndhuk?“ tanya mbah Jingkrak hati-hati.
Surti mengangguk. 
Mbah Jingkrak terdiam. Lama sekali. Seolah jawaban itu membuatnya tak bisa berpikir.
Akhirnya mbah Jingkrak menepuk pundak Surti yang masih menangis sesenggukan. 

“Jangan khawatir, Ndhuk. Kita tak bisa menyingkirkan ular misterius itu dari dirimu. Introspeksi dirilah, mintalah maaf pada keluarga yang telah disakiti hatinya oleh leluhurmu. Meskipun ini tak bisa mengobati penderitaanmu, tetapi setidaknya bisa mengurangi karma turunan yang kau sandang, Ndhuk….” 

####

Surti memutuskan menolak pinangan Prabu. Dia tak ingin pria yang diam-diam dicintainya itu mengalami hal yang serupa dengan kedua suaminya terdahulu. Diapun tak berusaha menjelaskan keadaan dirinya, juga karma turunan yang disandangnya.
Setelah mengundurkan diri dari perusahaannya, Surti memilih pindah ke sebuah desa di pelosok. Suasana desa yang tenteram sedikit membantunya melupakan beban dan perasaan berdosa yang makin hari makin membuatnya tak berdaya.
Si Mbok masih setia menemaninya. Uang hasil penjualan rumah pemberian Tejo dibelikannya sepetak sawah. Hasilnya digunakan untuk hidup sehari-hari. 
Sementara harta peninggalan Badrun disimpan sebagian, sebagian lagi disumbangkan ke Rumah Yatim Piatu yang ada di desa itu. 
Sebulan sekali Surti mengunjungi anak-anak malang itu. Dibawakannya mainan, buah-buahan dan buku-buku cerita yang membuat mata mereka bersinar-sinar gembira.
Surti menikmati semuanya, dan melupakan niat berumah tangga kembali.
Aahh…. Baulawean…karma turunan…. Surti sudah tak mempedulikannya lagi.
Percaya atau tidak?

Wallahu alam bissawab….

----00000----