Tyas
mematikan ponselnya. Dipandanginya gerbang masuk ke candi Plaosan
sekali lagi, barangkali yang ditunggunya sejak tadi akan muncul di sana.
Tetapi tak ada seorangpun yang menjumpainya. Dia mendesah. Lalu dengan
lesu, diseretnya langkah kaki meninggalkan halaman candi. Kembali
hatinya diliputi kegundahan yang luar biasa.
“ Sampai kapan penantian ini akan berakhir ? “ desisnya lirih. Dipandanginya langit yang mulai semburat jingga. Hari ini hujan tak turun, senja menjadi lebih indah dengan candik ala
yang merona. Sesekali melintas burung sriti yang bergegas menuju
sarangnya, ditingkah cericit kelelawar yang memburu nyamuk. Debu
berhamburan di jalanan, tetapi semua tak dihiraukannya.
mungkin kau bukanlah jodohku
bukan takdirku
terus terang, aku merindukanmu
setengah mati merindu ……
[ Setengah Mati Merindu – Judika ]
Tyas
bersenandung mengikuti syair lagu Judika…. Sesekali ia tersenyum pada
para petani yang melintas atau berpapasan dengannya. Hamparan sawah di
depannya sudah mulai menguning, sebentar lagi mereka akan memanen hasil
kerja kerasnya selama beberapa bulan.
“ eh non Tyas. Kemana saja selama ini non ? Kok lama nggak pernah kelihatan ? “ kang Arjo menyapa ramah. Disalaminya tangan gadis itu.
Mereka
segera berbincang akrab. Sambil menyusuri jalan setapak diantara
pematang sawah, kang Arjo banyak bercerita ngalor ngidul. Terlebih
setelah tahu Tyas baru saja mengunjungi candi Plaosan.
……..
“
dahulu, orang tua kita sering berpesan kalau pacaran jangan pergi ke
candi. Pamali katanya. Mereka percaya bila hubungan itu akan putus di
tengah jalan atau cerai non….” Urai kang Arjo panjang lebar.
“ ah. Masa sih…? “ Tyas memotong. Rasanya hal itu tak masuk akal sehatnya.
“ betul non. Tetapi itu duluuuu. Waktu kang Arjo masih kecil…”
“
tapi kenapa kang ? bukankah candi ini cantik banget….coba kang Arjo
lihat sendiri. Di waktu senja begini, candi itu kelihatan anggun, seakan
putri yang sedang bersolek menunggu kekasihnya … “ kata Tyas. Pandangannya kembali menoleh ke belakang, mengagumi keindahan candi Plaosan.
“ mitos itu sudah lama dilupakan orang jeng…” suara bariton yang berat mengejutkan mereka. Rupanya Bram mengikuti di belakang tanpa mereka sadari sebelumnya.
Pipi Tyas merona merah, dan kang Arjo berdehem menggodanya…..
#####
“
ketahuilah, kedua candi Plaosan ini memancarkan aura cinta kasih. Candi
ini merupakan perwujudan cinta kasih sang raja kepada permaisurinya.
Bayangkan saja….. di jaman dulu kala, mereka sudah mengenal apa artinya
toleransi beragama…..” jelas Bram. Tentu saja dia sangat paham, pekerjaannya menuntutnya menguasai seluk beluk pariwisata di Indonesia.
“ kenapa begitu ? “ kening Tyas berkerut. Heran.
“ sang raja Rakay Pikatan beragama Hindu, sementara permaisurinya Pramudya Wardhani beragama Buddha…” beber Bram. Tangannya begitu saja mencubit ujung hidung Tyas.
Diam
diam kang Arjo berlalu di belakang mereka. Dia tak ingin mengganggu
perbincangan yang mengingatkannya pada kisah kasihnya yang tak
tersampai.
……………
Dulu
sewaktu masih sama sama SMA, kang Arjo pernah naksir berat pada Tyas,
gadis paling manis di kampungnya. Rupanya gayung bersambut, cintanya tak
bertepuk sebelah tangan. Mereka berpacaran backstreet, karena orang tua
Tyas yang orang terpandang di kampung tak menyetujui hubungan mereka.
Tetapi
Tyas tetap menjalin hubungan dengan kang Arjo, putra pemain kethoprak
yang beristri dua. Itulah alasan yang mendasari orang tua Tyas mati
matian memisahkan mereka. Hingga pada akhirnya kang Arjo menjauh setelah
orang tua Tyas mengancamnya agar menjauhi anak semata wayangnya.
Lama
tak terdengar khabar berita, tiba tiba saja Tyas muncul di hadapannya.
Wajahnya masih sesegar dulu, tak banyak berubah. Badannya juga masih
langsing, dan senyumnya masih saja mampu merontokkan jantung Arjo.
Seperti sore ini, saat tak sengaja bertemu di perjalanan pulang dari
sawah garapannya.
#####
Bram
masih sibuk menerangkan mitos tentang candi Plaosan. Tyas hanya
mendengarkan sambil sesekali tersenyum. Gaya bicara Bram sangat menarik,
tangannya tak henti bergerak gerak seperti sedang menari. Seakan akan
dia sedang berbicara didepan turis yang dipandunya.
“ perbedaan
diantara raja dan permaisuri itu tidak mempengaruhi cinta mereka.
Masing masing bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya
sehingga kehidupan asmara mereka tetap berjalan baik. Dan kau tahu ….
Mereka bisa menumbuhkan benih benih cinta sejati…”
“ lalu ? “ timpal Tyas.
“ setelah
mereka meninggal, orang orang memandang candi Plaosan sebagai
perwujudan cinta suci antara lelaki dan perempuan. Itulah kenapa banyak
sekali pengunjung yang berpasang pasangan dating ke tempat itu, untuk
mendapatkan tuah dari raja dan permaisuri yang meninggal. Kabarnya pula……” Bram sengaja menghentikan ucapannya. Dipandanginya Tyas, mencoba mencari reaksi di wajahnya.
Sejurus kemudian, Bram melanjutkan ceritanya. “ Kabarnya
pasangan yang sering berselisih dianjurkan mengunjungi candi Plaosan.
Katanya mereka akan kembali mesra sepulang dari sana…..”
Tyas terdiam. Lama. Pikirannya sibuk menerawang, mengingat kejadian demi kejadian yang dialaminya beberapa tahun silam.
“ katanya lagi…. Ini katanya lhooo… pengunjung yang masih lajang akan mendapatkan jodoh yang diharapkan..” seloroh Bram. Tyas tersenyum. Dia tahu apa maksud perkataan laki laki itu.
………………….
Tyas
memutuskan untuk kembali ke Kotabumi, tempat selama ini ia mengasingkan
diri dari orang orang yang mengenalnya. Perih hatinya karena patah hati
dulu belum sepenuhnya pulih. Dia masih menyimpan marah dan benci pada
orang tuanya. Tyas menganggap kedua orang tuanya tak realis menyikapi
jalinan cintanya. Benarkah ??
Kenyataannya
kini apa yang dikatakan orang tuanya benar adanya. Kang Arjo yang telah
menikah, ternyata telah mendua. Bahkan istri mudanya tengah hamil,
sementara istri tuanya baru saja melahirkan.
Kali
ini Tyas benar benar berterimakasih atas larangan itu. Mungkin,
dirinyalah yang akan mengalami nasib seperti istri kang Arjo sekarang
bila dulu dia nekat menikah.
Sementara
Bram, laki laki yang mendekatinya belakangan ini, masih menyisakan
berjuta tanya di hati Tyas. Laki laki itu memang baik, humoris, dan
kelihatannya bertanggung jawab. Cuma sayangnya, dia tak pernah sekalipun
‘menembaknya’. Tyas tak ingin salah mengartikan kebaikan dan kedekatan
di antara mereka.
Dipandanginya tetes hujan dari balik jendela kamarnya. Hujan yang turun sejak semalam membuatnya enggan beranjak. Panggilan telepon di hapenya sejak tadi tak dihiraukannya. Pikirannya ngelantur kemana mana.
“ aahh…” desahnya. Dikibaskannya bayangan buruk yang melintas di kepalanya.
Ting
tong….ting tong….. bel rumah berbunyi nyaring. Tyas mengacuhkannya.
Mbok Yem yang tergopoh gopoh membukakan pintu depan. Disana ada Bram,
tegak berdiri dengan pakaian basah kuyup. Mbok Yem mempersilahkan Bram
yang belum pernah dilihatnya untuk duduk di kursi teras, sementara dia
memanggil Tyas.
“ non. Ada tamu untuk non…. “ kata mbok Yem.
“ siapa mbok ?? Kenapa tak disuruh masuk saja ? “
Tyas segera menuju ke ruang depan.
Mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku
Apakah aku terlalu, terlalu banyak berkelana
Mengapa kita masih saja tak pernah bersatu…
Dari
arah teras sayup sayup mengalun lagu Setengah Mati Merindu – Judika,
lagu kesukaannya. Tyas terbelalak, tak menyangka bila Bram benar benar
mencarinya hingga ke sini. Disongsongnya pemuda itu, lalu ditariknya
masuk ke ruang tamu. Tak dipedulikannya lantai yang menjadi basah.
Tyas
menjadi sangat sibuk. Dicarinya handuk bersih, juga pakaian ganti.
Diulurkannya pada Bram, dan mempersilahkannya membersihkan diri. Mbok
Yem juga tak kalah sibuknya. Dia menyeduh kopi panas, dan menyiapkan
beberapa penganan panas untuk Bram.
#####
kedatangan
Bram memang benar benar di luar dugaan Tyas. Dia rela capek capek
menempuh perjalanan sangat panjang hanya untuk menjumpai Tyas.
“ Tyas, maukah kau menjadi ibu dari anak anakku kelak ? “
Bram langsung menyatakan isi hatinya. Wajahnya nampak sangat serius,
hingga Tyas menahan tawa yang hampir keluar dari bibirnya.
“ tapiii….” Belum sempat Tyas menyelesaikan kalimatnya, Bram mengibaskan tangannya.
“ aku
sudah menemui kedua orang tuamu. Sudah kuutarakan maksudku untuk
meminangmu.Beliau menyetujui dan menyerahkan keputusan ini padamu.
Bagaimana ?? “ sorot mata penuh harap nampak di wajah Bram. Kemana wajah dan mata jenaka yang selama ini selalu menghiasi wajahnya ?
Tyas terdiam cukup lama. Hatinya
sibuk menimbang nimbang jawaban apa yang akan dia berikan pada Bram.
Sampai mbok Yem mempersilahkan mereka sarapan pun, Tyas belum juga
memberikan jawaban.
Akhirnya
Tyas mengangguk. Mereka berjalan menyusuri kebun kopi yang bersebelahan
dengan kebun rambutan. Hujan telah reda, menyisakan jalan setapak yang
licin. Sesekali Bram menggandeng tangan Tyas, sambil menggodanya.
“ kembalilah ke Jogja. Kita akan membesarkan anak anak kita di sana “ kata Bram.
“ di kebun ini, hatiku tertambat Bram ….” Sahut Tyas.
Bram tersenyum. Diraihnya jemari Tyas. “ Kelak, kita akan menghabiskan hari tua berdua di sini….” bisiknya pelan.
#####
Kini
mereka kembali menyusuri pematang, menuju ke candi Plaosan. Mereka
ingin cinta mereka abadi, sama halnya dengan cinta sang raja pada
permaisuri.
Candi Plaosan, lambang penyatuan dua perbedaan , menumbuhkan benih benih cinta sejati.
---000---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar