Kamis, 04 Februari 2016

Catatan Perjalanan: 'Kesasar' di Bukit Jaddih



Berawal dari niatan yang tertunda sejak setahun yang lalu, hari Selasa 3 Februari 2016 yang lalu kami putuskan untuk melunaskan keinginan ibu. Beliau pengin bisa melihat Jembatan Suramadu yang terkenal itu.

Selama dua hari kami melakukan perjalanan ke sebagian Pulau Madura dan Surabaya. Kami sampai di Surabaya hari Rabu pagi, tanpa membuang waktu kami putuskan untuk langsung menyeberang ke Madura. Berbekal aplikasi GPS kami menyusuri jalanan Surabaya yang belum begitu padat menuju ke Jembatan Suramadu.

Kebetulan, lalu lintas tak begitu ramai. Kendaraan yang melintas di atas jembatan hanya satu dua, jadi kami bisa sedikit memperlambat laju kendaraan dan membuka kaca jendela. Kami ingin memberi kesempatan kepada ibu agar bisa leluasa dan puas menikmati aroma laut, menghirup udara di sepanjang jembatan dan terutama menyaksikan kemegahan bangunan jembatan secara lebih detail. Beberapa kali kami mencoba mengambil foto dengan kamera hape yang ada, sekedar untuk kenang-kenangan.

Tadinya, kami hanya ingin menyeberang lalu kembali ke Surabaya. Tetapi di tengah jalan, kami berubah pikiran. Senyampang di Madura, kenapa nggak sekalian saja menikmati kuliner dan berburu kain batik khas daerah sana?

Berbekal beberapa info dari keluarga yang pernah ke Madura, kami melanjutkan perjalanan ke arah Bangkalan. Tujuan pertama ingin menikmati kuliner, kami menyusuri jalanan berbekal petunjuk arah yang terpampang di sisi kiri jalan.

Berhubung si sulung agak alergi bebek, tujuan makan pun lagi lagi berubah. Kami putuskan untuk menyantap ayam goreng yang terhitung aman bagi kami semua.


Selesai makan, kami mengunjungi sebuah toko yang memajang aneka kain batik khas Madura. Melihat-lihat, memilih lalu membeli beberapa potong. Tentu saja, kami menawar lebih dulu harga kain yang ditawarkan. Ini sessi yang paling heboh, maklum emak emak …



Kepalang tanggung, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju ke pasar tradisional untuk berburu terasi dan petis udang maupun petis ikan. Sekalian jalan kan? Siang itu kami habiskan untuk blusukan ke pasar. Selain petis dan terasi,  kami pun membeli salak Madura.


===ooOOOoo===


Ada satu usul menggelitik yang berhasil membuat rasa penasaran kami meluap-luap. Sudah sampai di Bangkalan, kenapa nggak sekalian saja mengunjungi Bukit Jaddih?



Nama yang asing, belum pernah kami dengar sebelumnya namun berhasil membuat kami membelokkan arah menuju ke sana.

Lagi lagi kami mengandalkan aplikasi GPS. Hehehe …  Sebenarnya tak terlalu sulit mencari daerah tersebut,  kami tinggal mengikuti  beberapa truk yang beriringan menuju ke bukit itu. Lumayan, jalur yang harus kami tempuh cukup membuat kami menahan nafas. Jalanan berbatu putih tak rata, pepohonan hijau dipadu dengan tanah yang memutih. Kontras sekali.






 Rasa ingin tahu kami terbayar dengan pemandangan indah yang tersaji di hadapan kami. Bukit batu putih yang ditambang, alat alat berat yang sibuk mengebor dan memindahkan hasil tambang ke dalam bak truk, lalu lalang truk yang mengangkut hasil tambang, para pekerja yang sibuk dengan mesin chainsaw untuk memotong-motong batu putih itu berbentuk persegi panjang sebagai bahan pondasi rumah.



 Tak banyak informasi yang bisa kami dapatkan tentang pertambangan ini. Salah seorang laki-laki yang kami temui terlihat takut takut saat kami menanyakan beberapa hal tentang pertambangan. Kami hanya mendapat penjelasan bahwa hasil tambang ini digunakan sebagai tanah urug, sementara yang berupa potongan potongan berbentuk balok /persegi panjang dimanfaatkan sebagai bahan pondasi atau dinding rumah.



Puas mengambil beberapa photo, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan yang kami lalui menuju ke jembatan, kami mengamati rumah rumah penduduk di samping kiri dan kanan jalan. Memang benar, sebagian besar dinding rumah penduduk terbuat dari batu putih (mereka menamainya begitu) ini.  Menurut penjelasan laki laki yang kami temui tadi, batu putih ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan batu bata.
Kebenarannya? Kami tidak tahu.

Sayangnya, penambangan ini menyisakan cekungan cekungan bekas galian yang dibiarkan begitu saja. Digenangi air, menjadi sarang nyamuk. Sementara di bagian lain nampak kolam renang dengan airnya yang membiru, tepat bersebelahan dengan kubangan air yang berwarna kehijauan. Pemandangan yang kontras.







Bagaimana  pun, pegunungan batu putih ini telah memberikan ruhnya kepada penduduk sekitar. Mereka bisa bekerja di tambang sebagai pemecah batu, operator backhoe, operator mesin pemecah batu, sebagai pengemudi truk pengangkut hasil tambang.
Selain sebagai daerah pertambangan, kawasan ini juga menjelma menjadi obyek wisata. Di antara lalu lalang truk pengangkut hasil tambang, terdapat pula beberapa mobil pribadi yang mengunjungi daerah ini.




Mengemudikan mobil di jalanan berbatu putih, dengan jurang menganga di kiri dan kanan jalan benar benar memacu adrenalin. Rasa singunen (bhs Jawa) – rasa takut akan ketinggian akan terbayar lunas saat sampai di puncak. Kita bisa photo selfie sepuasnya.

Sayangnya, kami tak berani membawa mobil hingga ke atas sana, meskipun ingin. Kami tak ingin berspekulasi. Medan terjal di depan sana meruntuhkan nyali kami.



=====oOOOo=====