Berawal dari niatan yang tertunda sejak setahun yang lalu,
hari Selasa 3 Februari 2016 yang lalu kami putuskan untuk melunaskan keinginan
ibu. Beliau pengin bisa melihat Jembatan Suramadu yang terkenal itu.
Selama dua hari kami melakukan perjalanan ke sebagian Pulau
Madura dan Surabaya. Kami sampai di Surabaya hari Rabu pagi, tanpa membuang
waktu kami putuskan untuk langsung menyeberang ke Madura. Berbekal aplikasi GPS
kami menyusuri jalanan Surabaya yang belum begitu padat menuju ke Jembatan
Suramadu.
Kebetulan, lalu lintas tak begitu ramai. Kendaraan yang
melintas di atas jembatan hanya satu dua, jadi kami bisa sedikit memperlambat
laju kendaraan dan membuka kaca jendela. Kami ingin memberi kesempatan kepada
ibu agar bisa leluasa dan puas menikmati aroma laut, menghirup udara di
sepanjang jembatan dan terutama menyaksikan kemegahan bangunan jembatan secara
lebih detail. Beberapa kali kami mencoba mengambil foto dengan kamera hape yang
ada, sekedar untuk kenang-kenangan.
Tadinya, kami hanya ingin menyeberang lalu kembali ke
Surabaya. Tetapi di tengah jalan, kami berubah pikiran. Senyampang di Madura,
kenapa nggak sekalian saja menikmati kuliner dan berburu kain batik khas daerah
sana?
Berbekal beberapa info dari keluarga yang pernah ke Madura,
kami melanjutkan perjalanan ke arah Bangkalan. Tujuan pertama ingin menikmati
kuliner, kami menyusuri jalanan berbekal petunjuk arah yang terpampang di sisi
kiri jalan.
Berhubung si sulung agak alergi bebek, tujuan makan pun lagi
lagi berubah. Kami putuskan untuk menyantap ayam goreng yang terhitung aman
bagi kami semua.
Selesai makan, kami mengunjungi sebuah toko yang memajang
aneka kain batik khas Madura. Melihat-lihat, memilih lalu membeli beberapa
potong. Tentu saja, kami menawar lebih dulu harga kain yang ditawarkan. Ini
sessi yang paling heboh, maklum emak emak …
Kepalang tanggung, akhirnya kami melanjutkan perjalanan
menuju ke pasar tradisional untuk berburu terasi dan petis udang maupun petis
ikan. Sekalian jalan kan? Siang itu kami habiskan untuk blusukan ke pasar.
Selain petis dan terasi, kami pun
membeli salak Madura.
===ooOOOoo===
Ada satu usul menggelitik yang berhasil membuat rasa
penasaran kami meluap-luap. Sudah sampai di Bangkalan, kenapa nggak sekalian
saja mengunjungi Bukit Jaddih?
Nama yang asing, belum pernah kami dengar sebelumnya namun
berhasil membuat kami membelokkan arah menuju ke sana.
Lagi lagi kami mengandalkan aplikasi GPS. Hehehe … Sebenarnya tak terlalu sulit mencari daerah
tersebut, kami tinggal mengikuti beberapa truk yang beriringan menuju ke bukit
itu. Lumayan, jalur yang harus kami tempuh cukup membuat kami menahan nafas. Jalanan
berbatu putih tak rata, pepohonan hijau dipadu dengan tanah yang memutih.
Kontras sekali.
Rasa ingin tahu kami terbayar dengan pemandangan indah yang
tersaji di hadapan kami. Bukit batu putih yang ditambang, alat alat berat yang
sibuk mengebor dan memindahkan hasil tambang ke dalam bak truk, lalu lalang
truk yang mengangkut hasil tambang, para pekerja yang sibuk dengan mesin
chainsaw untuk memotong-motong batu putih itu berbentuk persegi panjang sebagai
bahan pondasi rumah.
Tak banyak informasi yang bisa kami dapatkan tentang
pertambangan ini. Salah seorang laki-laki yang kami temui terlihat takut takut
saat kami menanyakan beberapa hal tentang pertambangan. Kami hanya mendapat
penjelasan bahwa hasil tambang ini digunakan sebagai tanah urug, sementara yang
berupa potongan potongan berbentuk balok /persegi panjang dimanfaatkan sebagai
bahan pondasi atau dinding rumah.
Puas mengambil beberapa photo, kami pun memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan yang kami lalui menuju ke jembatan,
kami mengamati rumah rumah penduduk di samping kiri dan kanan jalan. Memang
benar, sebagian besar dinding rumah penduduk terbuat dari batu putih (mereka menamainya
begitu) ini. Menurut penjelasan laki
laki yang kami temui tadi, batu putih ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan
batu bata.
Kebenarannya? Kami tidak tahu.
Sayangnya, penambangan ini menyisakan cekungan cekungan
bekas galian yang dibiarkan begitu saja. Digenangi air, menjadi sarang nyamuk.
Sementara di bagian lain nampak kolam renang dengan airnya yang membiru, tepat
bersebelahan dengan kubangan air yang berwarna kehijauan. Pemandangan yang
kontras.
Bagaimana pun,
pegunungan batu putih ini telah memberikan ruhnya kepada penduduk sekitar.
Mereka bisa bekerja di tambang sebagai pemecah batu, operator backhoe, operator
mesin pemecah batu, sebagai pengemudi truk pengangkut hasil tambang.
Selain sebagai daerah pertambangan, kawasan ini juga menjelma
menjadi obyek wisata. Di antara lalu lalang truk pengangkut hasil tambang,
terdapat pula beberapa mobil pribadi yang mengunjungi daerah ini.
Mengemudikan mobil di jalanan berbatu putih, dengan jurang menganga di kiri dan kanan jalan benar benar memacu adrenalin. Rasa singunen (bhs Jawa) – rasa takut akan ketinggian akan terbayar lunas saat sampai di puncak. Kita bisa photo selfie sepuasnya.
Sayangnya, kami tak berani membawa mobil hingga ke atas sana, meskipun ingin. Kami tak ingin berspekulasi. Medan terjal di depan sana meruntuhkan nyali kami.
Mengemudikan mobil di jalanan berbatu putih, dengan jurang menganga di kiri dan kanan jalan benar benar memacu adrenalin. Rasa singunen (bhs Jawa) – rasa takut akan ketinggian akan terbayar lunas saat sampai di puncak. Kita bisa photo selfie sepuasnya.
Sayangnya, kami tak berani membawa mobil hingga ke atas sana, meskipun ingin. Kami tak ingin berspekulasi. Medan terjal di depan sana meruntuhkan nyali kami.
=====oOOOo=====