Surti terduduk lesu di pinggir ranjang. Rambutnya berantakan, gaun yang dikenakannya kusut masai. Air matanya tak henti mengalir membasahi pipi yang pucat.
Beberapa kerabat masih hilir mudik di ruang tamu rumahnya, merapikan kursi dan
perabotan.
Jasad mendiang suaminya baru saja
dihantarkan ke makam di sudut desa. Tejo, suami yang sangat dicintainya telah
mendahului menghadap Illahi. Tak ada tanda-tanda jika Tejo menderita suatu
penyakit. Selama ini ia sehat, sedang mesra mesranya menjalani kehidupan rumah
tangga.
“Aahh…,” keluh Surti.
Dikibaskan tangannya seolah ingin menghalau bayangan hitam di depan mata.
Ia menghampiri meja rias, membersihkan sisa tangis di wajahnya, lalu
melangkah ke luar kamar. Beberapa kerabat segera menyongsongnya dan membantu
duduk di kursi tamu.
“Sabar ya Jeng, ini sudah
suratan takdir dari Allah. Tabah, tawakkal, dan berserah diri padaNya...,” hibur
pak Wahyu.
Wajahnya menyiratkan kedukaan yang dalam.
Sementara bu Wiryo menepuk nepuk pundaknya, seolah memberi kekuatan
untuk menghadapi cobaan ini. “sing sabar
ya ndhuk cah ayu. Narimo ing pepesthen saka Gusti Allah, “ bisiknya lagi.
Surti hanya mampu mengangguk. Dipandanginya satu persatu kerabat yang
masih menemani di rumah ini dengan sorot mata penuh terima kasih. Kehadiran
mereka sangat membantu mengatasi kesedihan akibat kematian suaminya yang
mendadak.
####
Setahun kemudian, Surti berkenalan dengan Badrun. Project Officer yang
baru di kantor tempatnya bekerja. Laki laki supel dan mudah bergaul yang
humoris. Keceriaannya menular ke sebagian besar karyawan kantor. Ada-ada saja
ulahnya yang membuat seisi kantor tertawa berderai dibuatnya.
Sedikit demi sedikit, kegembiraan kehangatan suasana kantor mampu
menghapuskan mendung di wajah Surti. Dia sudah mampu tersenyum, sesekali
menimpali gurauan dan guyonan teman-temannya bila sedang berkumpul saat makan
siang. Sering wajahnya bersemu merah bila teman-teman mengoloknya.
Yaa,
Badrun rupanya sedang jatuh hati pada Surti, janda kembang yang rupawan ini.
Konyolnya lagi, seisi kantor seakan kompak menjodohkan mereka menjadi pasangan
kekasih.
“Jeng Surti, aku mencintaimu.
Aku ingin melamarmu, menjadikan belahan jiwaku, menjadi ibu dari anak anakku.
Bersediakah kau menikah denganku?“ lembut suara Badrun.
Tangannya menggenggam
jemari Surti, yang menunduk malu.
“Apa Mas sudah mantap memilihku? Apa mas tidak akan menyesal nantinya?“ jawabnya.
Airmatanya menitik membasahi
pipinya. Ingatannya melayang kembali pada mendiang suaminya.
“Tidak, Jeng, aku sudah tahu
semuanya. Aku ingin menghapus kesedihan dari hatimu,“ mantap suara Badrun.
Akhirnya Surti mengangguk pelan, yang segera disambut pelukan hangat Badrun.
~~~~~
Dua bulan kemudian mereka menikah dengan upacara sederhana. Airmata
Surti mengalir deras saat memasuki kamar pengantinnya yang wangi. Dia berusaha
keras menghalau bayangan wajah mendiang suaminya. Kini ia milik Badrun
sepenuhnya. Ia tak ingin membuat suaminya menyesal telah menikahinya.
Setelah menghapus riasannya, Surti menghampiri Badrun yang sedang duduk
di ranjang pengantin. Wajahnya sumringah, tangannya terkembang menyambut Surti.
Mereka melewatkan malam itu penuh kehangatan.
Seminggu kemudian, Surti diboyong Badrun ke rumah barunya. Rumah yang
khusus dibeli sebagai hadiah pernikahan untuk pengantinnya. Sambil memeluk
pundak Surti, Badrun memperkenalkan pengurus rumahnya. Mereka berkeliling dari satu kamar ke kamar
lainnya, membuat Surti begitu terharu.
“Naah, ini kamar kita. Kau boleh
mengatur dan menata perabotannya sesukamu. Kau ratu di rumah ini sekarang…,” kata Badrun.
Tangannya sibuk menyibak tirai jendela, sementara senyumnya tak
pernah hilang dari wajahnya.
Surti tersenyum. “Ini terlalu berlebihan, Mas. Bersamamu aku sudah
sangat bahagia….”
Dihampirinya suaminya, diciumnya mesra.
####
Tiga bulan berlalu, belum ada
tanda-tanda kehamilan di rahim Surti. Kasak kusuk mulai terdengar di antara
pengurus rumah Badrun. Yang mandul lah,
yang tak bisa membahagiakan suami lah…. Sungguh memerahkan telinga Surti,
yang hanya bisa menangis diam-diam di belakang Badrun.
Penderitaan Surti bertambah ketika tiba-tiba saja Badrun jatuh sakit. Badrun
baru saja pulang dari kantor pengacara, mengurus balik nama sertifikat tanah
dan benda berharganya. Semuanya dialih namakan kepada Surti, istri yang sangat
dicintainya.
Semua sibuk. Pak Arman, sopir pribadi Badrun menelpon ambulans, si mbok
menyeka tubuh Badrun yang berkeringat dingin. Sementara Surti hanya terdiam
mematung. Dia benar-benar syok menghadapi kenyataan ini.
Sesampai di rumah sakit, nyawa Badrun tak tertolong. Dia meninggal dalam
perjalanan tanpa sempat mengucap sepatah katapun pada Surti. Tak kuat
menghadapi cobaan ini, Surti pun pingsan.
---000---
Surti mengunjungi makam Tejo. Ia membawa seikat gladiol putih kesukaan
mendiang suaminya. Sambil membersihkan rumput yang tumbuh subur di sekitar
nisannya, Surti menahan tangis. Saat memasuki gerbang makam tadi, Pak Arjo
memandanginya dengan tatapan sinis.
“Dasar perempuan baulawean,“ desisnya.
Surti tak mengerti maksud kalimat itu. Dilanjutkannya
melangkah menuju nisan Tejo, tak menggubris perkataan Pak Arjo yang baru saja
didengarnya.
Selesai membersihkan makam dan berdoa di sana, Surti bergegas pulang.
Mendung yang menggelayut di atas makam membuatnya tak bisa berlama-lama di
sana. Apalagi tadi dia lupa membawa payung.
Sepanjang jalan pikiran Surti melayang kemana-mana. Dia sibuk mengingat-ingat apa maksud dan arti dari kalimat yang dilontarkan Pak Arjo. Sampai di
rumah pun Surti masih belum menemukan jawabannya.
Dihampirinya si mbok yang
masih setia melayaninya meskipun Badrun sudah meninggal. Setelah meneguk
segelas air putih yang disodorkan, Surti mulai tenang.
“Mbok. Apa Mbok tahu apa itu baulawean?“ tanya Surti hati-hati.
Bagaimanapun juga, ia belum bisa bicara blak blak an dengan pembantunya ini.
Si mbok nampak kaget, ada kekhawatiran di raut wajahnya yang mulai
menua.
“Kenapa Non menanyakan itu? Siapa yang mengatakan hal itu, Non?“
tanyanya.
Wajahnya nampak sangat khawatir.
“Tadi waktu di makam mas Tejo, Pak Arjo memaki aku dengan kata itu ….” tutur Surti.
Wajahnya ikut ikutan was was.
Si Mbok terdiam. Lama sekali. Surti cemas menantikan jawaban Si Mbok.
Tetapi sampai Surti beranjak ke pembaringan, jawaban pertanyaan itu belum juga
didapatkannya. Si Mbok malah menangis tersedu-sedu, hingga membuat Surti
mengurungkan niat untuk mendesak si Mbok.
####
Hampir dua tahun berlalu. Surti masih setia mengunjungi makam Tejo dan
juga Badrun. Dia tak lagi menggubris kasak kusuk yang beredar di lingkungan
tempat tinggalnya. Diapun tak ingin tahu apa arti umpatan Pak Arjo dulu. Surti hanya ingin hidup tenang, tanpa gangguan.
Dia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dua kali menjadi janda membuatnya
berhati hati menjalin hubungan dengan laki laki. Rumah peninggalan Tejo sudah
dijualnya, begitu juga dengan harta Badrun. Surti tak ingin mengingat kenangan
menyakitkan tentang suami suaminya yang meninggal mendadak.
Perkawinannya dengan Tejo hanya berlangsung singkat. Sementara
pernikahannya dengan Badrun hanya berlangsung selama tiga bulan. Kedua suaminya
meninggal mendadak, hal yang cukup membuat anggapan miring tertuju pada dirinya
kini.
……..
Saat dipindahkan ke kantor cabang, Surti menerimanya dengan senang hati.
Tak ada kekhawatiran sedikitpun tentang pekerjaannya di kantornya yang baru.
Dia berharap kepindahannya ini akan membuat kasak kusuk tentangnya akan mereda.
Setelah berkenalan dengan seluruh karyawan divisi yang dipimpinnya, Surti
memasuki ruangannya yang lumayan besar. Beberapa agenda kerja sudah menunggu
untuk diselesaikan, dan seharian Surti tenggelam di meja kerja, lupa dengan
kesedihan dan kekhawatirannya selama ini.
Si Mbok masih menemaninya di tempat baru. Sesekali Surti masih mencoba
bertanya, tetapi si Mbok tak pernah memberikan jawabannya hingga akhirnya Surti
bosan. Dia tak berusaha mencari tahu arti umpatan itu.
~~~~~~~
Surti berkenalan dengan Prabu saat menghadiri pameran yang
diselenggarakan di balai kota. Laki laki perlente itu mengulurkan segelas teh
hangat saat isitirahat siang. Meski ragu, Surti menerima uluran tangan laki
laki itu dan menyebutkan namanya.
“Surti….”
“Aku Prabu. Boleh aku duduk di sini?“ katanya lagi.
Surti hanya
tersenyum.
Mereka segera terlibat dalam obrolan ringan, sesekali tertawa lepas.
Seolah-olah perkenalan mereka telah berlangsung lama. Nampak sekali bila Prabu
sangat terkesan dengan Surti.
Tak berapa lama, Prabu melamar Surti. Kali ini Surti tak bisa segera
mengiyakan lamaran itu. Pikirannya kembali teringat umpatan yang pernah
diterimanya dulu. Jujur, dia mulai menyukai Prabu yang kebapakan itu. Tetapi
jauh di dalam hatinya Surti khawatir. Dia takut bila suaminya ini akan
meninggal juga seperti kedua suami terdahulu.
Setelah mengajukan cuti, Surti kembali ke tanah kelahirannya di pelosok
Solo. Yang pertama kali dicarinya adalah kediaman mbah Jingkrak, sesepuh desa.
Rumah yang terletak di sudut desa membuat Surti agak kesulitan menemukannya.
Maklum, sudah bertahun-tahun dia tak pulang kampung, apalagi setelah kedua
orang tuanya meninggal dunia.
Surti mengutarakan maksud kedatangannya.
Ada keterkejutan dalam raut wajah Mbah Jingkrak, tapi segera berubah menjadi tenang
kembali. Setelah menyodorkan segelas air putih, diapun mulai merapal mantra.
Surti terdiam, bulu kuduknya berdiri semua. Suasana magis di kediaman mbah
Jingkrak sangat terasa. Apalagi aroma kemenyan yang dibakar, ditambah suara
mbah Jingkrak yang serak, suasana sepi di sekeliling rumah membuat Surti
bergidik. Ngeri.
“Sini ndhuk… duduklah membelakangiku,” perintahnya.
Surti tak bergeming. Dia belum tahu maksud mbah Jingkrak.
“Ayolah... sini…kau buka blusmu
dan tunjukkan punggungmu pada Mbah ..” perintah mbah Jingkrak. Kali ini nadanya
berat dan memaksa.
Surti pun menurut. Perlahan dibukanya baju yang dikenakannya. Mbah
Jingkrak dengan hati-hati memeriksa punggung Surti. Wajahnya berkerut-kerut,
sementara mulutnya merapal mantra yang entah apa artinya.
“Ndhuk.. sudah berapa kali kau menikah?" tiba-tiba saja mbah Jingkrak
bertanya.
“Dua kali, Mbah.”
“Lalu dimanakah suamimu sekarang?“ tanya mbah Jingkrak.
Kali ini
sambil meminta Surti mengenakan blusnya kembali.
“Sudah meninggal, Mbah. Sakit
mendadak…,” jawab Surti.
Ia masih tak mengerti maksud pertanyaan itu.
“Begini ya, Ndhuk. Mbah sudah memeriksa tanda lahir di punggungmu…,“
mbah Jingkrak terdiam.
Lama sekali hingga Surti tak sabar menunggu lanjutan
kalimatnya.
“Lalu…?“
“Kau itu perempuan baulawean,“ terang mbah Jingkrak hati-hati.
Surti terkejut.
Seumur umur baru kali ini didengarnya istilah itu. Dengan
penuh perhatian didengarkannya penjelasan mbah Jingkrak.
“Perempuan baulawean itu
mempunyai tanda berupa gambar ular di punggungnya, Ndhuk. Dia membawa kutukan
sejak lahir. Setiap laki-laki yang menikah dengannya akan meninggal dunia.
Kadang-kadang di dahului sakit, tetapi ada juga yang mendadak….” Panjang lebar
penjelasan mbah Jingkrak.
Surti hanya melongo. Tak menyangka bila kutukan itu
benar benar ada.
“Lalu…. Apa yang harus kulakukan, Mbah?“ keluhnya.
Airmatanya mulai
menetes membasahi pipinya.
“Di dalam rahim perempuan baulawean terdapat sebangsa ular dengan
ukuran kecil kira-kira sebesar pensil. Namun bukan sembarang ular karena lebih
bersifat metafisik atau bangsa alus.
Kau mungkin tak menyadarinya, begitupun suamimu. Ular metafisik
itulah yang menjadi penyebab meninggalnya suamimu….” Penjelasan itu makin
membuat Surti pening.
Dia tak menyangka bila dirinya membawa sial seperti itu.
Hatinya seperti tercabik-cabik, apalagi saat diingatnya bagaimana Pak Arjo
memandangnya dengan sinis dulu.
Mbah Jingkrak tak meladeni pertanyaan Surti. Ia masih saja melanjutkan
keterangannya.
“Penyebab atau asal usul
keberadaan ular misterius tersebut berasal dari karma. Bukan karma akan perbuatanmu
sendiri, Ndhuk, tetapi bisa juga karma turunan dari orang tuamu, kakek nenekmu
atau nenek moyangmu. Kesalahan atau dosa yang penyebab utamanya adalah mulut.
Orang sering sekali lepas kontrol, sadar atau tidak, seringkali ucapannya
menyakiti hati orang lain dalam kadar yang sangat keterlaluan....”
Surti menangis sesenggukan.
Dia sungguh tak mengerti kenapa harus
menghadapi persoalan seberat ini sendirian. Si mbok hanya bisa mengelus
pundaknya, seolah memberikan kekuatan padanya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Mbah…. Tolonglah aku,“ Surti mengiba.
“Apakah kau berencana menikah lagi, Ndhuk?“ tanya mbah Jingkrak hati-hati.
Surti mengangguk.
Mbah Jingkrak terdiam. Lama sekali. Seolah jawaban itu
membuatnya tak bisa berpikir.
Akhirnya mbah Jingkrak menepuk pundak Surti yang masih menangis
sesenggukan.
“Jangan khawatir, Ndhuk. Kita tak bisa menyingkirkan ular
misterius itu dari dirimu. Introspeksi dirilah, mintalah maaf pada keluarga
yang telah disakiti hatinya oleh leluhurmu. Meskipun ini tak bisa mengobati penderitaanmu,
tetapi setidaknya bisa mengurangi karma turunan yang kau sandang, Ndhuk….”
####
Surti memutuskan menolak pinangan Prabu. Dia tak ingin pria yang diam-diam dicintainya itu mengalami hal yang serupa dengan kedua suaminya terdahulu.
Diapun tak berusaha menjelaskan keadaan dirinya, juga karma turunan yang
disandangnya.
Setelah mengundurkan diri dari perusahaannya, Surti memilih pindah ke
sebuah desa di pelosok. Suasana desa yang tenteram sedikit membantunya
melupakan beban dan perasaan berdosa yang makin hari makin membuatnya tak
berdaya.
Si Mbok masih setia menemaninya. Uang hasil penjualan rumah pemberian
Tejo dibelikannya sepetak sawah. Hasilnya digunakan untuk hidup sehari-hari.
Sementara harta peninggalan Badrun disimpan sebagian, sebagian lagi
disumbangkan ke Rumah Yatim Piatu yang ada di desa itu.
Sebulan sekali Surti mengunjungi anak-anak malang itu. Dibawakannya
mainan, buah-buahan dan buku-buku cerita yang membuat mata mereka bersinar-sinar gembira.
Surti menikmati semuanya, dan melupakan niat berumah tangga
kembali.
Aahh…. Baulawean…karma turunan…. Surti sudah tak mempedulikannya lagi.
Percaya atau tidak?
Wallahu alam bissawab….
----00000----