Susah payah kucoba enyahkan
bayanganmu dari hatiku. Sejak kutuliskan kata pamit itu untukmu.Aku mencoba
lari menjauh, mencoba melupakanmu, dan menghapuskan segala kenangan indah yang
terjadi di antara kita.
Tidak. Aku mengeluh dalam diam. Seberapa
besar usahaku untuk melupakanmu, tetapi sebesar itu pula bayang wajahmu ada di
benakku. Selalu saja hanya kau, kau dan kau. Tak ada lagi yang lain.
Salahkah aku ? aku yang mulai
mencintaimu, aku yang mulai menyayangimu, aku yang mulai menghadirkan dirimu
dalam kehidupanku. Dulu aku tak pernah percaya pada kata teman temanku. Dulu
aku tak pernah mengerti mengapa ada cinta di usia senja. Dulu aku tak pernah
memahami kenapa orang bisa jatuh cinta lagi.
Tetapi sekarang ? aku
mengalaminya sendiri. Aku mencintaimu, meski sekuat tenaga kucoba enyahkan
perasaan itu. Tetapi aku tak pernah sanggup. Aku tak pernah bisa mengusir
perasaan itu dari hatiku. Aku menyayangimu. Setiap saat yang kupikirkan hanya
dirimu. Meskipun aku tahu, kau tak pernah menganggapku istimewa. Aku hanyalah
teman masa lalumu. Aku hanyalah teman kesepianmu. Aku hanyalah teman
kesunyianmu. Tak apa. Aku mengerti.
Kita memang orang orang masa
lalu. Masa indah yang terlewatkan oleh waktu. Kita pernah berjumpa, bersama
meski tak saling sapa. Disatukan oleh keadaan, tetapi dipisahkan pula oleh
kesempatan.
Kau menjauh, makin tak
terjangkau. Sementara aku ? aku masih saja di sini, di kota ini. Bercumbu
dengan jalanan basah. Berkutat dengan asap knalpot dan bisingnya perempatan
setiap siang. Berebut tempat dengan para penglajo tiap pagi, sementara sore
hari mengulangi hal yang sama setiap hari.
Hingga hari itu. Tak sengaja kita
bertemu kembali setelah tahun tahun berlalu. Tak sengaja kita saling menyapa
saat prahara itu melanda. Tak sengaja kita saling menguatkan saat duka dan pilu
itu mengemuka. Sungguh teduh. Kata katamu bagai air pegunungan yang menyejukkan
hati. Nasehatmu bagai seorang sufi yang berkelana berpeluk sunyi.
Jadilah. Hari hari kita lewati
dengan sapa dan canda. Jauhnya jarak tak pernah menjadi halangan untuk saling
berkirim cerita di tengah kesibukan yang hampir tak pernah ada matinya. Kita
makin dekat, makin terbuka, dan tirai yang mengantarai itupun terkoyak sudah.
---000---
Kini aku memutuskan untuk menjauh
darimu. Sekuat tenaga kuhapuskan segala kenangan tentangmu dari hidupku. Meski
bersamamu menjadi sebuah cerita yang tak pernah usai. Tetapi kita telah
melangkah pada jalan yang tak berujung. Di sinilah aku. Di penghujung jalan
yang kuciptakan sendiri. Di persimpangan yang kubuat ada, meski sebenarnya tak
pernah terlihat.
Kubiarkan segala pengharapan dan
duka cita mewarnai hari hariku. Kubiarkan segala anganku mengembara dalam
luasnya impian. Semuanya menjadi bayang bayang kelabu, yang membuatku terus
saja menangis tiap kali mengingatmu.
Engkau terlalu baik, terlalu
agung, terlalu terhormat untuk menjadi bagian hidupku. Aku tak ingin menjadikanmu
bagian dari hatiku seperti halnya dulu kita pernah berjanji untuk tidak merubah
apapun yang telah mapan di keseharian kita. Benarkah ? Benarkah kita tak pernah
menginginkan untuk merubah segala keteraturan yang menjadi bagian hidup kita
sehari hari ? Jujur, terkadang aku mengangankan andai saja kita punya sedikit
lagi keberanian untuk menggantikan segala yang telah ada dengan hal hal
baru. Tetapi selalu saja ada ketakutan
yang melingkupi hari hari kita. Masih pantaskah kita melakukannya sekarang ?
Kita tak berani menghadapi apa kata orang di sekitar kita. Kitapun terlalu
takut untuk menengadah, menghadang segala komentar miring dan segala cemooh
yang akan kita terima seandainya kita mewujudkan apa angan angan kita.
Tetapi kita tak pernah berani
ambil resiko yang sebegitu besarnya, hanya karena ingin membahagiakan diri kita
masing masing. Ada banyak orang di sekitar kita yang akan terluka. Ada banyak hal di lingkungan kita
yang harus diubah. Dan yang paling membuat haru biru, kita tak ingin
beradaptasi dengan hal hal baru, yang tak pernah kita tahu bagaimana dan
seperti apa nantinya. Buat apa kita berandai andai, buat apa kita berangan
angan yang tak tentu arah, buat apa kita menginginkan segala hal yang
sebenarnya kita sudah memilikinya ?
Susah payah aku mencoba untuk
tidak mengingatmu, meskipun jauh di dalam lubuk hatiku ada perasaan perih yang
mengiris. Aku menangisinya dalam diam, dalam kelamnya perasaan hati yang sakit
dan pedih. Meskipun aku tahu ini yang terbaik, tetapi sisi hatiku yang lain
tetap saja merasa ada kekosongan yang tak bisa tergantikan bahkan dengan musik
sekeras apapun, dengan pekerjaan sesibuk apapun ataupun segala perintang waktu
yang lain. Selalu saja ada saat dimana aku merasa sangat kehilangan,
seberapapun usahaku untuk segera bisa melupakanmu, mengenyahkan bayanganmu dari
hari hariku yang kian sunyi.
Meski kuakui, dalam kondisi
begini aku malah lebih produktif untuk menulis. Entah sudah berapa judul puisi
dan prosa karyaku yang tercipta. Beberapa judul malahan sudah ku expose ke
suatu komunitas, dengan mendapatkan apresiasi dari anggotanya. Aku tak pernah menyangka
bila ungkapan hatiku, tangisan jiwaku dalam puisi begitu menarik perhatian
mereka dan mendapatkan komentar yang makin membuatku semangat untuk terus
menulis.
Aku memang berharap segera bisa
menyalurkan kesedihanku, tangis jiwaku dan perasaan kehilanganku kepada hal hal
yang positif buatku, mungkin juga buat orang lain di luaran sana. Selama ini
aku selalu menyimpan segala duka nestapa dan galau jiwa dalam relung hati. Aku selalu punya sejuta alasan dan logika
yang pas bila ada yang menanyakan beberapa kata atau kalimat yang
kutuliskan. Kegemaranku menulis puisi,
membaca, mendengarkan musik, menjadi tirai dan alasan yang tak pernah
terbantahkan. Bagaimana tidak, karena aku selalu menuliskan potongan syair lagu
yang kebetulan kudengarkan, di sebuah media penulisan. Meskipun ada beratus
ratus syair lagu, berjuta bahkan, tetapi aku lebih suka menuliskan yang
berkaitan dengan hatiku saat itu. Aku akan dengan mudah menjawab apabila ada
yang menanyakan apa arti tulisan itu bagiku. Bukankah ini suatu kebetulan dan
kamuflase yang sempurna untuk menutupi keadaan hatiku ?
Saat sedang sendiri, terkadang
aku tersadar bila apa yang kulakukan, tepatnya yang kita lakukan adalah sebuah
kesalahan besar yang tak termaafkan. Benarkah ? Dilihat dari kacamata logika
manapun tak akan pernah ada yang membenarkan tindakan ini. Tetapi dapatkah kita
menolak perasaan yang muncul ini dari hati kita masing masing ? Dapatkah kita
menolak kehendakNya yang terjadi pada kita saat ini ? Sulit sekali mencari
jawaban atas pertanyaan ini. Dengan segala konsekuensi yang akan timbul, dengan
segala resiko yang akan dihadapi, dan segala ketidak nyamanan yang akan kita
hadapi di masa mendatang. Sanggupkah kita menghadapinya berdua ? Mampukah kita,
saling bergandeng tangan dan memantapkan hati untuk melalui segala kesemrawutan
yang terhampar di hadapan kita ?
Tak pernah kita berani saling
bertanya mengajuk hati, apa sebenarnya yang menjadi damba dalam penghujung usia
kita sekarang ini ? Kebersamaan dalam rentang waktu yang lama telah mengikis perasaan
deg degan dan gemetaran yang dahulu menjadi penghias saat saat berdua. Masihkah
kita memilikinya sekarang ? Masihkah getar getar itu mewarnai kedekatan dan
kebersamaan kita bila sedang berdua ? Kita tak pernah berani, kita terlalu
takut bila mendapati jawaban dari pertanyaan itu yang membuat kita jengah
karenanya. Kenapa ? Terkadang kita bahkan tak dapat menemukan kata yang tepat
untuk ungkapkan apa perasaan kita, apa yang sedang terpikirkan dalam hati kita.
Meski kalau kita mau untuk jujur
pada perasaan kita sendiri, kita sedang menganyam angan angan yang membuat kita
panas dingin dan demam. Terkadang pula membuat kita seperti kehilangan akal
dengan sering sering menengok hp meskipun tak ada satupun sms yang masuk
ataupun nada dering yang terdengar. Terlebih lagi bila kita sedang menunggu
balasan pesan yang terkirim, jam jam yang berlalu serasa sangat lama, membuat
gelisah, resah, bolak balik yang membuat gundah.
Kini aku mengerti, aku menjadi
benar benar memahami ungkapan bila cinta tak harus memiliki yang pernah kau
ucapkan dulu, duluuu sekali itu ada benarnya juga. Saat pertama dulu, hal itu
yang muncul dalam perbincangan kita. Waktu itu aku tak begitu hirau dengan
pernyataan itu. Kupikir kau sedang ngegombal, hal yang biasa dilakukan seseorang
yang sedang merayu ataupun mengajuk hati. Aku menyadarinya sekarang, aku sangat
sangat mengerti kenapa waktu itu kau ungkapkan hal yang membuatku sedih dan
terluka. apakah kau bisa membaca isi hatiku lewat sinar mataku ?
Yah, telah susah payah kucoba
untuk menyingkirkan perasaan ingin memiliki itu. Tetapi toh perasaan bukan
hitung hitungan matematika yang rumit bin ruwet itu. Perasaan bukanlah seperti
sekotak kue bolu, yang bisa dibagi rata
sesuai kebutuhan. Perasaan selalu berhubungan dengan hati, dan kita sama sama
tahu bila hati tak bisa dikotak kotakkan sesuai mau kita. Pernahkah kita merasa
mampu membagi perasaan kita sama kepada satu orang dan orang lainnya ?
Pernahkah kita merasa mampu memisahkan perasaan dan hati kita dengan logika
kita selama memecahkan suatu persoalan ? Itulah yang selama ini melingkupi
hatiku, meski tak ingin menampakkannya bila dihadapanmu. Bila kita tanyakan hal
ini pada orang orang di luaran sana, ku tahu jawabannya kurang lebih sama
dengan apa yang kita pikirkan sekarang.
Aku mengerti, kita selalu jalan
bareng dan seiring. Tetapi sama halnya seperti rel kereta api, kita akan selalu
bersama, berjalan bersisian sampai kemanapun kaki melangkah. Kita sadari bahwa
tak pernah akan ada ujung yang mempertemukan kita. Namun, seperti halnya ujung
kuku yang menghitam, yang selalu kita potong dan kita buang ke tempat sampah,
seperti itulah perasaan kita. Sekeras apapun usaha kita untuk saling menjauh,
tak saling berkhabar, tak saling bertegur sapa; tetap saja ada perasaan
kehilangan, perasaan kosong yang melingkupi hari hari kita. Mungkin lebih
tepatnya hari hariku, bukan kita. Aku tak begitu yakin dengan keseharianmu,
karena selama ini tak banyak cerita yang bisa terungkap tentangmu.
Kau terlalu pendiam bila
dibandingkan denganku yang cerewet dan jail.
---000---
Kini aku sendiri, menganyam
senyum mentari yang tepat mengetuk pintu rumahku setiap pagi. Berandai andai
seakan kau masih merenda asa bersamaku seperti halnya hari hari lalu. Aku masih
menunggu, bersediakah kau memenuhi permintaanku terakhir dulu ? Karena masih saja dapat kulihati kegiatanmu,
perasaanmu, dan bahkan rutinitasmu. Kau benar benar hanya di dunia maya
untukku. Ada, namun tiada. Dekat namun tak teraih.
Tetapi bukankah ini sebuah
pilihan yang kuyakin benar adanya ? Sebuah keputusan yang terkadang masih
membuatku limbung tak berdaya. Jujur, aku sama sekali tak menyangka bila
reaksimu demikian datar dan kering. Garing, seperti kata anak anak muda
sekarang. Benarkah ? Benarkah tak bisa
kau temukan sebaris kalimatpun untuk mengungkapkan apa yang ada di hatimu ?
Benarkah bila yang kutuliskan panjang
lebar itu tak menerbitkan satu baitpun jawaban untukku ?
Ada apa dengan hatimu ? Ada apa
dengan perasaanmu? Ada apa denganmu ? Rasanya serentetan tanya ini tak kan
pernah menemukan jawab. Sama halnya dengan senyum mahalmu, sama halnya dengan
kalem raut wajahmu. Sama halnya dengan sederet panjang agenda yang mesti kau
penuhi hari ke hari. Tak peduli hujan,
tak peduli banjir, tak peduli macet bahkan tak peduli tubuh penat. Tetapi
seperti katamu, semua adalah ekses dari sebuah pilihan. Mau tinggi menjulang,
dengan penghasilan yang lebih dari cukup, selalu ada tanggung jawab mengekor di
belakangnya. Atau sepertiku, yang tenggelam dalam kewajiban keseharian yang
sangat menyita waktu, menghabiskan energi dan tenaga, tetapi dianggap paling
beruntung karena tak perlu bersusah payah keluar rumah untuk mendapatkan semua
kesenangan ini.
Yaaahh, orang akan memandangku
sebagai perempuan paling beruntung. He, tapi bukankah mereka tak pernah tahu
apa isi hatiku sesungguhnya ? Mereka tak pernah tahu apa sebenarnya yang
kurasakan dalam melewatkan hari hari sepanjang minggu.
Layar warna warni menjadi tempat
bercurah kini, dia yang diam, yang tak pernah menolak apapun yang kumau, yang
menemaniku menghabiskan waktuku dalam senyap waktu. Hanya jemari, yang sesekali
menari mengikuti nyanyian angin, mengembara melukiskan isi jiwa. Tetapi aku
nikmati semua yang kupunya, bagaimanapun aku tak bisa menghindar dari pandangan
masyarakat yang sering terlontar di luaran sana. Apa yang kucari sebenarnya ?
Sampai kapan ? Entah, aku sendiri
tak mengerti. Tetapi aku tetap akan jalani hari hari, sendiri meski dalam sepi.
Aku tak ingin perpisahan ini, menjadikanku beku dan terpenjara. Aku tetap harus
melangkah, karena esok tak pernah kutahu, cerah ataupun hujan,mendung ataukah
berawan.
Tetaplah disana, dengan
keseharianmu. Aku akan disini, dalam sepi sibukku.
---000---