Arina
mengatupkan matanya. Sunyi memaku sekeliling, menghadirkan kebisuan
yang memerihkan hati. Hary telah pergi meninggalkannya seminggu yang
lalu. Rasanya masih tak percaya dia pergi secepat itu, menghancurkan
angan angannya menjadi berkeping.
"
Aah mas, aku belum sempat katakan berita gembira ini padamu. Kenapa
terlalu cepat kau tinggalkan aku ? " rintihnya pilu. Arin merasa
hidupnya tak berarti lagi. Dia merasa tak sanggup menghadapi hari esok
tanpa Hary.
---000---
Dua
hari yang lalu Arin diam diam pergi ke dokter kandungan. Haidnya sudah
telat dua minggu, dan untuk lebih meyakinkan diri iapun pergi ke
laboratorium. Setelah membaca hasil test yang diserahkannya, dokter Nisa
tersenyum. Tangannya menjabat tangan Arin erat erat.
“ selamat ya Arin, sebentar lagi kau akan menjadi seorang ibu “ katanya sumringah.
Arina
melongo. Tak menyangka bila dia sedang mengandung. Selama ini dia
mengira bila sedang masuk angin ataupun maagnya kambuh. Airmata
menggenang di pelupuk matanya, bahagia rasanya.
“ eh,
kok malah nangis ? ini berita gembira....ayolaaah Arin “ dokter Nisa
menepuk punggung tangannya, menenangkan kekagetan Arina.
“ terima kasih dokter. Aku sangat gembira sampai nangis begini “ sahut Arina, tangannya menghapus air matanya dengan tissue.
“ baiklah.
Obat ini buat kesehatan calon bayimu. Yang ini diminum sehari tiga
kali, yang ini dua kali. Trus kapsul yang warna hijau ini, vitamin
untukmu. Diminum tiap mau tidur ya...”
“ jangan sungkan untuk hubungi saya bila ada sesuatu dengan kandunganmu “ kata dokter Nisa lagi.
Arina mengangguk. Disalaminya dokter Nisa.
---000---
Belum sempat Arin mengatakan berita gembira ini pada Hary, dirinya dikejutkan oleh panggilan telepon dari nomor hpnya.
“ mas Hary.... hallooo ...” teriak Arin gembira.
“ maaf bu, apakah anda mengenal pemilik nomor telepon ini ? “ sebuah suara yang asing menyapanya.
“ be...benar. itu milik mas Hary. Ada apa ya ? “
“ kenapa dengan mas Hary ?? “ panik Arina bertanya, airmatanya mulai bercucuran.
“ saya Kapten Indarto bu. sebaiknya ibu ke Rumah Sakit Yayasan Bunda, akan kami jelaskan sesampai ibu di sana “.
Tangis
Arina pun pecah di ruang IRD Rumah Sakit. Hary ditemukan telah
meninggal dunia di pinggir trotoar depan Kantor Polisi dimana Kapten
Indarto bertugas. Tak ada satupun tanda pengenal di temukan di tubuhnya,
hanya handphone yang ada di saku celananya.
Kapten Indarto mendapati nomor Arina lah yang paling sering dihubungi oleh Hary.
Pengacara
Hary segera datang ke rumah sakit. Rupanya Kapten Indarto berteman baik
dengan Gunawan, dan kebetulan dia menjadi penasehat hukum Hary sejak
setahun terakhir.
Dialah
yang mengurus semuanya hingga selesai. Biaya rumah sakit, ambulans,
pemakaman dan segala keperluan meninggalnya Hary. Arina hanya menurut
saja apa kata pengacara itu. Pikirannya buntu, lidahnya kelu. Hanya air
matanya yang tak berhenti mengalir, menyiratkan kesedihan hatinya.
---000---
Kemarin Gunawan menghubunginya. Menurut jadwal, hari ini pembacaan Surat Wasiat Hary yang telah ditulisnya sebulan yang lalu.
Arina
mengenakan blus hitam berenda batik warna coklat dan celana panjang
hitam. Wajahnya pucat pias tanpa riasan sama sekali. Ada kantung mata di
bawah kelopak matanya, sementara rambutnya hanya diikatnya ke belakang,
tanpa disisir lebih dahulu.
“ bu Arina, kau sudah siap ? “ Gunawan menyentuh tangannya.
Arina mengangguk. Tatapan matanya masih saja kosong.
Gunawan
mengulurkan sepucuk amplop coklat tebal. Di dalamnya terdapat bermacam
macam hasil test laboratorium yang belum pernah dilihat Arina
sebelumnya.
Sambil meneliti satu persatu dokumen itu, Arina tak henti hentinya menangis.
“ ternyata
mas Hary selama ini sakit keras. Kenapa dia tak pernah sekalipun
membicarakannya denganku ? “ tanya Arina. Batinnya teriris pilu.
“ pak
Hary mewanti wanti saya untuk tidak memberitahukannya kepada ibu. Dan
sekarang, beliau sudah meninggal. Saya berkewajiban menyerahkan semua
berkas milik pak Hary kepada ibu. Ini sesuai permintaan beliau sepuluh
hari yang lalu “ panjang lebar penjelasan Gunawan.
Arina
makin tergugu. Disesalinya semua prasangka buruk di minggu minggu
terakhir sebelum mas Hary meninggal. Ia belum sempat meminta maaf.
“ ibu tanda tangan bukti penyerahan di sini. ... silahkan “ Gunawan menyodorkan form tanda terima, dan menyimpannya kembali setelah Arina membubuhkan tanda tangannya.
“ berapa saya harus membayar.....” tanya Arina terhenti. Gunawan tersenyum sambil menyahut pertanyaan tak selesai itu.
“ semuanya sudah diselesaikan pak Hary bu. Ibu tak usah khawatir...”
“ nah, ini sudah selesai. Saya pamit bu. Semoga ibu tabah ya....” Gunawan menyalaminya dan segera berlalu.
Tinggallah
Arina sendirian di ruang tamu. Beberapa dokumen dan test laboratorium
dibolak baliknya. Tetapi ada satu amplop putih yang menarik minatnya.
Dibukanya
perlahan. Selembar surat keterangan dari sebuah Rumah Sakit X menyembul
keluar. Tak sabar Arina membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di
sana. Seketika Arina menjerit. Iapun pingsan.
---000---
Surat
Keterangan itu berisikan riwayat penyakit yang diderita Hary selama
ini. Dia terinveksi virus HIV AIDS, dan Arina terlambat mengetahuinya.
Tetapi Arina tak hendak menampik karuniaNya yang bersemayam di rahimnya. Dikuatkannya hatinya, dimantapkannya tekadnya. “ Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok “ bisiknya, seolah kepada angin.
---000---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar