Sabtu, 28 Januari 2012

Surat Wasiat

Arina mengatupkan matanya. Sunyi memaku sekeliling, menghadirkan kebisuan yang memerihkan hati. Hary telah pergi meninggalkannya seminggu yang lalu. Rasanya masih tak percaya dia pergi secepat itu, menghancurkan angan angannya menjadi berkeping.
" Aah mas, aku belum sempat katakan berita gembira ini padamu. Kenapa terlalu cepat kau tinggalkan aku ? "  rintihnya pilu. Arin merasa hidupnya tak berarti lagi. Dia merasa tak sanggup menghadapi hari esok tanpa Hary.
---000---
Dua hari yang lalu Arin diam diam pergi ke dokter kandungan. Haidnya sudah telat dua minggu, dan untuk lebih meyakinkan diri iapun pergi ke laboratorium. Setelah membaca hasil test yang diserahkannya, dokter Nisa tersenyum. Tangannya menjabat tangan Arin erat erat.
“ selamat ya Arin, sebentar lagi kau akan menjadi seorang ibu “ katanya sumringah.
Arina melongo. Tak menyangka bila dia sedang mengandung. Selama ini dia mengira bila sedang masuk angin ataupun maagnya kambuh. Airmata menggenang di pelupuk matanya, bahagia rasanya.
“ eh, kok malah nangis ? ini berita gembira....ayolaaah Arin “ dokter Nisa menepuk punggung tangannya, menenangkan kekagetan Arina.
“ terima kasih dokter. Aku sangat gembira sampai nangis begini “ sahut Arina, tangannya menghapus air matanya dengan tissue.
“ baiklah. Obat ini buat kesehatan calon bayimu. Yang ini diminum sehari tiga kali, yang ini dua kali. Trus kapsul yang warna hijau ini, vitamin untukmu. Diminum tiap mau tidur ya...”
“ jangan sungkan untuk hubungi saya bila ada sesuatu dengan kandunganmu “ kata dokter Nisa lagi.
Arina mengangguk. Disalaminya dokter Nisa.

---000---

Belum sempat Arin mengatakan berita gembira ini pada Hary, dirinya dikejutkan oleh panggilan telepon dari nomor hpnya.
“ mas Hary.... hallooo ...” teriak Arin gembira.
“ maaf bu, apakah anda mengenal pemilik nomor telepon ini ? “ sebuah suara yang asing menyapanya.

“ be...benar. itu milik mas Hary. Ada apa ya ? “
“ kenapa dengan mas Hary ?? “ panik Arina bertanya, airmatanya mulai bercucuran.
“ saya Kapten Indarto bu. sebaiknya ibu ke Rumah Sakit Yayasan Bunda, akan kami jelaskan sesampai ibu di sana “.
Tangis Arina pun pecah di ruang IRD Rumah Sakit. Hary ditemukan telah meninggal dunia di pinggir trotoar depan Kantor Polisi dimana Kapten Indarto bertugas. Tak ada satupun tanda pengenal di temukan di tubuhnya, hanya handphone yang ada di saku celananya.
Kapten Indarto mendapati nomor Arina lah yang paling sering dihubungi oleh Hary.
Pengacara Hary segera datang ke rumah sakit. Rupanya Kapten Indarto berteman baik dengan Gunawan, dan kebetulan dia menjadi penasehat hukum Hary sejak setahun terakhir.
Dialah yang mengurus semuanya hingga selesai. Biaya rumah sakit, ambulans, pemakaman dan segala keperluan meninggalnya Hary. Arina hanya menurut saja apa kata pengacara itu. Pikirannya buntu, lidahnya kelu. Hanya air matanya yang tak berhenti mengalir,  menyiratkan kesedihan hatinya.

---000---

Kemarin Gunawan menghubunginya. Menurut jadwal, hari ini pembacaan Surat Wasiat Hary yang telah ditulisnya sebulan yang lalu.
Arina mengenakan blus hitam berenda batik warna coklat dan  celana panjang hitam. Wajahnya pucat pias tanpa riasan sama sekali. Ada kantung mata di bawah kelopak matanya, sementara rambutnya hanya diikatnya ke belakang, tanpa disisir lebih dahulu.
“ bu Arina, kau sudah siap ? “ Gunawan menyentuh tangannya.
Arina mengangguk. Tatapan matanya masih saja kosong.
Gunawan mengulurkan sepucuk amplop coklat tebal. Di dalamnya terdapat bermacam macam hasil test laboratorium yang belum pernah dilihat Arina sebelumnya.
Sambil meneliti satu persatu dokumen itu, Arina tak henti hentinya menangis.
“ ternyata mas Hary selama ini sakit keras. Kenapa dia tak pernah sekalipun membicarakannya denganku ? “ tanya Arina. Batinnya teriris pilu.
“ pak Hary mewanti wanti saya untuk tidak memberitahukannya kepada ibu. Dan sekarang, beliau sudah meninggal. Saya berkewajiban menyerahkan semua berkas milik pak Hary kepada ibu. Ini sesuai permintaan beliau sepuluh hari yang lalu “ panjang lebar penjelasan Gunawan.
Arina makin tergugu. Disesalinya semua prasangka buruk di minggu minggu terakhir sebelum mas Hary meninggal. Ia belum sempat meminta maaf.

“ ibu tanda tangan bukti penyerahan di sini. ... silahkan “ Gunawan menyodorkan form tanda terima, dan menyimpannya kembali setelah Arina membubuhkan tanda tangannya.
“ berapa saya harus membayar.....” tanya Arina terhenti. Gunawan tersenyum sambil menyahut pertanyaan tak selesai itu.
“ semuanya sudah diselesaikan pak Hary bu. Ibu tak usah khawatir...”
“ nah, ini sudah selesai. Saya pamit bu. Semoga ibu tabah ya....” Gunawan menyalaminya dan segera berlalu.
Tinggallah Arina sendirian di ruang tamu. Beberapa dokumen dan test laboratorium dibolak baliknya. Tetapi ada satu amplop putih yang menarik minatnya.
Dibukanya perlahan. Selembar surat keterangan dari sebuah Rumah Sakit X menyembul keluar. Tak sabar Arina membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Seketika Arina menjerit. Iapun pingsan.

---000---


Surat Keterangan itu berisikan riwayat penyakit yang diderita Hary selama ini. Dia terinveksi virus HIV AIDS, dan Arina terlambat mengetahuinya.
Tetapi Arina tak hendak menampik karuniaNya yang bersemayam di rahimnya. Dikuatkannya hatinya, dimantapkannya tekadnya. “ Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok “ bisiknya, seolah kepada angin.



---000---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar