Rabu, 14 Maret 2012

Miranti, Hans dan Hubungan Tanpa Status

Dari balik jendela kamarnya di lantai dua, Miranti berdiri mematung. Dipandanginya lembayung senja yang terhampar di luaran sana. Dia mendesah lirih. Masih dirasakannya perih yang menghunjam di dadanya.


penghujung hari ini muram, tangis langit
tlah kelabukan semburat jingga
teman menyongsong malam


sisakan kelokan tepian yang basah
bertaburkan guguran dedaunan menguning
yang 'kan suburkan padang gersang



tarian angin mengayun buluh bambu
lengkapi orkestra senja


Di tangannya tergenggam secarik kertas berisi bait bait puisi karya Hans, yang diselipkannya saat mereka berpisah bulan lalu. Miranti masih tak mengerti, mengapa mereka harus dipisahkan oleh alasan yang tak bisa diterimanya.

###




13317094821627204586
gambar dari google





maaf mungil, kita tak bisa meneruskan hubungan ini……” keluh Hans, saat memeluknya di tepian pantai. Senja hampir memeluk ujung malam, mereka masih berdiri terdiam di bibir pantai. Ombak yang mengecupi ujung jemari kaki mereka, tak dihiraukan.
tapi kenapa mas ? adakah yang salah pada diriku, sikapku atau ….?? “ pertanyaan Miranti menggantung di udara, saat kibasan tangan Hans menghentikan pertanyaan itu.
maafkan aku mungil. Aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Minggu depan, aku menduduki jabatan baru di kantor. Apa kau ingin karierku hancur karena hubungan ini ? “ getar suara Hans. Ia tahu, hati Miranti hancur berkeping keping karena jawaban ini. tetapi ia harus jujur, betapapun menyakitkannya kenyataan yang harus mereka hadapi.
Hans seperti memakan buah simalakama, antara karier dan Miranti. Perempuan yang mulai dicintainya setahun belakangan ini. Dulu mereka satu sekolahan, meski beda kelas. Pertemanan yang terjalin beberapa tahun itu terpisah karena kuliah mereka yang tak satu kota. Sejak itulah mereka seperti kehilangan jejak masing masing. Apalagi mereka kemudian menemukan tambatan hati dan kemudian membangun rumah tangga. Hans sibuk dengan kariernya yang makin menanjak, sementara Miranti memilih berkutat sebagai ibu rumah tangga, dan tenggelam dalam kesibukannya.
Reuni akbar itu mempertemukan mereka kembali. Hans telah menjadi seorang pejabat penting di kantor pemerintahan. Pada awalnya mereka hampir tak mengenali satu sama lain. Secara kebetulan mereka mendapatkan tempat duduk bersebelahan saat di ruang makan.
Hubungan di antara mereka kembali terjalin. Miranti yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya seperti mendapatkan oase yang memabukkan. Hans seakan menemukan nafsu petualangan yang dulu sangat disukainya pada diri Miranti. Sebuah hubungan tanpa status, yang makin lama makin menjerat mereka hingga tak bisa terpisahkan lagi.

Tapi kini Hans harus memilih. Ia mulai mencintai Miranti, hal yang tak boleh dilakukannya sekarang. Perempuan itu lembut dan ringkih, bersamanya Hans merasa menjadi seorang laki laki kokoh yang memberikan perlindungan untuk Miranti. Ia tak ingin mengorbankan karier yang diperolehnya dengan perjuangan bertahun tahun. Ia juga tak ingin anak anaknya menderita hanya karena kesenangannya sesaat saja.


#####


Miranti masih menggenggam kertas berisi coretan puisi itu. Sore ini dia sendirian di lantai atas. Rintik hujan masih terus turun, membasahi hamparan sawah di seberang jalan. Tak dipedulikannya air mata yang mengalir turun membasahi pipinya.
Meski tak dapat menerima keputusan Hans untuk berpisah, tetapi Miranti tetap diam. Perasaan bersalah yang selama ini mengganggu pikirannya seakan menahannya untuk menghubungi Hans kembali. Jauh di lubuk hatinya Miranti menyimpan sesal karena telah menghianati cinta suami dan anak anaknya.
Keluarga kecilnya ini demikian tulus mencintainya, menyayanginya dan memanjakannya. Miranti bagaikan seorang ratu di rumahnya sendiri. Dia selalu punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Namun dia telah tega menyakiti hati mereka, tanpa mereka sadari. Perasaan berdosa ini seakan makin membebani hari harinya.
Dipandanginya foto keluarga yang tergantung di dinding kamarnya. Betapa berseri wajah anak anaknya. Tangan suaminya menggenggam erat jemarinya, dengan senyum tulus di wajahnya. Miranti tak kuasa memandangi foto itu berlama lama. Air matanya kembali turun membasahi pipinya.
maafkan aku sayang, hatiku tlah mendua. Maafkan ibu nak. Aku bukan ibu yang baik buat kalian…..” isaknya makin keras, jantungnya seperti di remas remas. Sakit sekali.

Perlahan dia bangkit, dihapuskan sisa air mata di pipinya. Sebelum suami dan anak anaknya pulang, Miranti ingin tampil lebih segar. Diraihnya handuk, sejurus kemudian ia sudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
Setelah mengganti bajunya, Miranti turun. Disiapkannya segelas teh hangat kesukaan suaminya, dan beberapa roti bakar buat anak anaknya. Ditunggunya mereka sambil menonton televisi, dipilihnya acara siaran berita.
Suara reporter di TV mengejutkannya.
“ telah terjadi kecelakaan di persimpangan Taman Kota beberapa saat yang lalu. Sebuah mobil melaju kencang dan menabrak tiang listrik hingga terbakar. Semua penumpang berhasil menyelamatkan diri meskipun mengalami luka bakar. Sementara si pengemudi tewas terpanggang. Dia masih terikat dengan sabuk pengaman di kursinya…….”
Miranti tak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Itu plat mobil mas Hans, yang dihapalnya di luar kepala. Dia terduduk, jantungnya berdegup sangat kencang. Keringatpun berbutir butir di keningnya.
mas Hans….. “ keluhnya lirih, sebelum akhirnya dia pingsan.


#####


aku dimana ini ….” Miranti membuka matanya. Dilihatnya suaminya, anak anaknya sudah berkumpul mengelilinginya. Ada gurat kekhawatiran di wajah mereka, membuat Miranti menangis.
sssttt sudahlah ma. Sudah, jangan menangis lagi…..” suaminya sigap menghapus air matanya, membuat perasaan bersalah di dada Miranti makin besar. Ia menyesali kebodohannya, kerapuhan hatinya, dan ketidaksetiaannya kepada keluarganya.
Suaminya penuh perhatian, anak anaknya sangat menyayanginya….. Miranti telah mengabaikan semua yang ada di hadapannya. Oase yang direguknya saat bersama Hans hanyalah fatamorgana yang semu. Hanya sesaat, tak ada ketulusan di dalamnya. Tak henti hentinya Miranti menyesalinya kini. Perasaannya seperti terbelah dua. Dia tak ingin kehilangan keluarganya, sementara hatinya terkoyak pedih karena kematian Hans.

Pagi ini udara cerah, secerah senyum suami dan anak anaknya menyambut kepulangannya dari rumah sakit. Meskipun masih lemah, Miranti mencoba menguatkan hatinya. Dienyahkannya bayang bayang Hans yang masih sering muncul di hadapannya. Dicobanya merangkai kembali keping keping cintanya yang terkoyak, ingin diraihnya kembali mimpi mimpi manis bersama keluarganya.


#####

Hingga suatu pagi.
tok tok tok…. Assalamu’alaikum….” Didengarnya sapaan di pintu. Sebuah suara asing yang belum pernah di dengar sebelumnya.
maaf, apakah benar ini rumah jeng Miranti ? “ suara lembut seorang perempuan memecah keheningan. Miranti mengangguk. Dia masih sibuk mengingat ingat siapa dan dimana pernah ketemu dengan perempuan ini.
ehm, boleh saya masuk ? saya ingin menyampaikan sesuatu buat jeng ….”
ooh eeh, silahkan silahkan….” Balas Miranti.

Diperhatikannya tamunya. Seorang perempuan seusianya yang nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Dia menyerahkan sebuah bungkusan berpita pada Miranti.
Dibukanya perlahan, dan Miranti sangat terkejut dibuatnya. Sebuah lingerie berwarna merah jambu, buku bertuliskan puisi dan kata kata mesra, sapu tangan pemberiannya, jepit dasi…..dan semua barang yang diberikannya pada Hans ada di hadapannya.
Sambil menahan air matanya, perempuan itu menyebutkan namanya, Siska. Dia meminta agar Miranti mau menyimpan semua benda itu atas permintaan Hans.
seminggu sebelum mas Hans meninggal, dia memohon ampun kepada saya jeng…..” suara Siska tercekat di tenggorokan. Hampir saja air matanya tumpah, namun sekuat tenaga ditahannya.
dia memohon maaf telah mengkhianati perkawinan kami, dan mengakui kalau dia punya affair dengan jeng….” Miranti masih terdiam.
dia sudah bertekad untuk melupakan jeng, dan kembali ke keluarganya. Bagaimanapun, anak anak tak boleh menjadi korban keegoisan orang tuanya… “ Siska menghentikan ucapannya. Dadanya turun naik, seperti menahan gejolak kemarahan, juga kesedihan yang sangat berat.
sebelum berangkat ke kantor pagi itu, mas Hans telah membungkus semua benda ini, dan menuliskan sehelai surat. Ia meminta saya untuk mengirimkan ke rumah jeng…. “ tangis Siska pun meledak. Miranti hanya bisa diam. Sungguh, dia tak tahu harus berbuat apa menghadapi kejadian ini.
penuhilah permintaan terakhir mas Hans jeng, biar dia tenang di alam baka …” kata kata Siska menyadarkan Miranti dari diamnya. Dia mengangguk. Jauh di lubuk hatinya dia menangis darah. Laki laki yang mulai mengisi hatinya itu rapi menyimpan benda pemberiannya, dan meninggalkannya dengan tragis.

#####

Miranti memandangi rinai hujan dari balik jendela kamarnya. Sesekali ingatannya melayang pada Hans. Kali ini dia tak ingin menangis lagi. Dikibaskannya tangannya ke udara, seakan ingin mengusir segala bayangan buruk di hadapannya. Miranti tak ingin terbelenggu masa lalunya yang kelam.
Beruntung suami dan anak anaknya bisa memahami perasaannya, cinta dan kasih sayang mereka tak pernah berkurang karena peristiwa itu. Tak henti hentinya Miranti menyesali diri, tetapi dia lebih bersyukur kini.

---000---

special thanks to :Mira dan Hans

terinspirasi dari kisah kalian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar