Dari
balik jendela kamarnya di lantai dua, Miranti berdiri mematung.
Dipandanginya lembayung senja yang terhampar di luaran sana. Dia
mendesah lirih. Masih dirasakannya perih yang menghunjam di dadanya.
penghujung hari ini muram, tangis langit
tlah kelabukan semburat jingga
teman menyongsong malam
tlah kelabukan semburat jingga
teman menyongsong malam
sisakan kelokan tepian yang basah
bertaburkan guguran dedaunan menguning
yang 'kan suburkan padang gersang
bertaburkan guguran dedaunan menguning
yang 'kan suburkan padang gersang
tarian angin mengayun buluh bambu
lengkapi orkestra senja
lengkapi orkestra senja
Di
tangannya tergenggam secarik kertas berisi bait bait puisi karya Hans,
yang diselipkannya saat mereka berpisah bulan lalu. Miranti masih tak
mengerti, mengapa mereka harus dipisahkan oleh alasan yang tak bisa
diterimanya.
###
“ maaf
mungil, kita tak bisa meneruskan hubungan ini……” keluh Hans, saat
memeluknya di tepian pantai. Senja hampir memeluk ujung malam, mereka
masih berdiri terdiam di bibir pantai. Ombak yang mengecupi ujung jemari
kaki mereka, tak dihiraukan.
“ tapi
kenapa mas ? adakah yang salah pada diriku, sikapku atau ….?? “
pertanyaan Miranti menggantung di udara, saat kibasan tangan Hans
menghentikan pertanyaan itu.
“ maafkan
aku mungil. Aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Minggu depan, aku
menduduki jabatan baru di kantor. Apa kau ingin karierku hancur karena
hubungan ini ? “ getar suara Hans. Ia tahu, hati Miranti hancur
berkeping keping karena jawaban ini. tetapi ia harus jujur, betapapun
menyakitkannya kenyataan yang harus mereka hadapi.
Hans seperti memakan buah simalakama, antara karier dan Miranti. Perempuan yang mulai dicintainya setahun belakangan ini. Dulu
mereka satu sekolahan, meski beda kelas. Pertemanan yang terjalin
beberapa tahun itu terpisah karena kuliah mereka yang tak satu kota.
Sejak itulah mereka seperti kehilangan jejak masing masing. Apalagi
mereka kemudian menemukan tambatan hati dan kemudian membangun rumah
tangga. Hans sibuk dengan kariernya yang makin menanjak, sementara
Miranti memilih berkutat sebagai ibu rumah tangga, dan tenggelam dalam
kesibukannya.
Reuni
akbar itu mempertemukan mereka kembali. Hans telah menjadi seorang
pejabat penting di kantor pemerintahan. Pada awalnya mereka hampir tak
mengenali satu sama lain. Secara kebetulan mereka mendapatkan tempat
duduk bersebelahan saat di ruang makan.
Hubungan
di antara mereka kembali terjalin. Miranti yang sedang mengalami
masalah dalam rumah tangganya seperti mendapatkan oase yang memabukkan.
Hans seakan menemukan nafsu petualangan yang dulu sangat disukainya pada
diri Miranti. Sebuah hubungan tanpa status, yang makin lama makin
menjerat mereka hingga tak bisa terpisahkan lagi.
Tapi
kini Hans harus memilih. Ia mulai mencintai Miranti, hal yang tak boleh
dilakukannya sekarang. Perempuan itu lembut dan ringkih, bersamanya
Hans merasa menjadi seorang laki laki kokoh yang memberikan perlindungan
untuk Miranti. Ia tak ingin mengorbankan karier yang diperolehnya
dengan perjuangan bertahun tahun. Ia juga tak ingin anak anaknya
menderita hanya karena kesenangannya sesaat saja.
#####
Miranti masih menggenggam kertas berisi coretan puisi itu. Sore ini dia sendirian di lantai atas. Rintik hujan masih terus turun, membasahi hamparan sawah di seberang jalan. Tak dipedulikannya air mata yang mengalir turun membasahi pipinya.
Meski
tak dapat menerima keputusan Hans untuk berpisah, tetapi Miranti tetap
diam. Perasaan bersalah yang selama ini mengganggu pikirannya seakan
menahannya untuk menghubungi Hans kembali. Jauh di lubuk hatinya Miranti
menyimpan sesal karena telah menghianati cinta suami dan anak anaknya.
Keluarga
kecilnya ini demikian tulus mencintainya, menyayanginya dan
memanjakannya. Miranti bagaikan seorang ratu di rumahnya sendiri. Dia
selalu punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Namun dia telah tega
menyakiti hati mereka, tanpa mereka sadari. Perasaan berdosa ini seakan
makin membebani hari harinya.
Dipandanginya
foto keluarga yang tergantung di dinding kamarnya. Betapa berseri wajah
anak anaknya. Tangan suaminya menggenggam erat jemarinya, dengan senyum
tulus di wajahnya. Miranti tak kuasa memandangi foto itu berlama lama.
Air matanya kembali turun membasahi pipinya.
“ maafkan
aku sayang, hatiku tlah mendua. Maafkan ibu nak. Aku bukan ibu yang
baik buat kalian…..” isaknya makin keras, jantungnya seperti di remas
remas. Sakit sekali.
Perlahan
dia bangkit, dihapuskan sisa air mata di pipinya. Sebelum suami dan
anak anaknya pulang, Miranti ingin tampil lebih segar. Diraihnya handuk,
sejurus kemudian ia sudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
Setelah
mengganti bajunya, Miranti turun. Disiapkannya segelas teh hangat
kesukaan suaminya, dan beberapa roti bakar buat anak anaknya.
Ditunggunya mereka sambil menonton televisi, dipilihnya acara siaran
berita.
Suara reporter di TV mengejutkannya.
“
telah terjadi kecelakaan di persimpangan Taman Kota beberapa saat yang
lalu. Sebuah mobil melaju kencang dan menabrak tiang listrik hingga
terbakar. Semua penumpang berhasil menyelamatkan diri meskipun mengalami
luka bakar. Sementara si pengemudi tewas terpanggang. Dia masih terikat
dengan sabuk pengaman di kursinya…….”
Miranti
tak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Itu plat mobil mas
Hans, yang dihapalnya di luar kepala. Dia terduduk, jantungnya berdegup
sangat kencang. Keringatpun berbutir butir di keningnya.
“ mas Hans….. “ keluhnya lirih, sebelum akhirnya dia pingsan.
#####
“ aku
dimana ini ….” Miranti membuka matanya. Dilihatnya suaminya, anak
anaknya sudah berkumpul mengelilinginya. Ada gurat kekhawatiran di wajah
mereka, membuat Miranti menangis.
“ sssttt
sudahlah ma. Sudah, jangan menangis lagi…..” suaminya sigap menghapus
air matanya, membuat perasaan bersalah di dada Miranti makin besar. Ia
menyesali kebodohannya, kerapuhan hatinya, dan ketidaksetiaannya kepada
keluarganya.
Suaminya
penuh perhatian, anak anaknya sangat menyayanginya….. Miranti telah
mengabaikan semua yang ada di hadapannya. Oase yang direguknya saat
bersama Hans hanyalah fatamorgana yang semu. Hanya sesaat, tak ada
ketulusan di dalamnya. Tak henti hentinya Miranti menyesalinya kini.
Perasaannya seperti terbelah dua. Dia tak ingin kehilangan keluarganya,
sementara hatinya terkoyak pedih karena kematian Hans.
Pagi
ini udara cerah, secerah senyum suami dan anak anaknya menyambut
kepulangannya dari rumah sakit. Meskipun masih lemah, Miranti mencoba
menguatkan hatinya. Dienyahkannya bayang bayang Hans yang masih sering
muncul di hadapannya. Dicobanya merangkai kembali keping keping cintanya
yang terkoyak, ingin diraihnya kembali mimpi mimpi manis bersama
keluarganya.
#####
Hingga suatu pagi.
“ tok tok tok…. Assalamu’alaikum….” Didengarnya sapaan di pintu. Sebuah suara asing yang belum pernah di dengar sebelumnya.
“ maaf,
apakah benar ini rumah jeng Miranti ? “ suara lembut seorang perempuan
memecah keheningan. Miranti mengangguk. Dia masih sibuk mengingat ingat
siapa dan dimana pernah ketemu dengan perempuan ini.
“ ehm, boleh saya masuk ? saya ingin menyampaikan sesuatu buat jeng ….”
“ ooh eeh, silahkan silahkan….” Balas Miranti.
Diperhatikannya
tamunya. Seorang perempuan seusianya yang nampak lebih tua dari usia
yang sebenarnya. Dia menyerahkan sebuah bungkusan berpita pada Miranti.
Dibukanya
perlahan, dan Miranti sangat terkejut dibuatnya. Sebuah lingerie
berwarna merah jambu, buku bertuliskan puisi dan kata kata mesra, sapu
tangan pemberiannya, jepit dasi…..dan semua barang yang diberikannya
pada Hans ada di hadapannya.
Sambil
menahan air matanya, perempuan itu menyebutkan namanya, Siska. Dia
meminta agar Miranti mau menyimpan semua benda itu atas permintaan Hans.
“ seminggu
sebelum mas Hans meninggal, dia memohon ampun kepada saya jeng…..”
suara Siska tercekat di tenggorokan. Hampir saja air matanya tumpah,
namun sekuat tenaga ditahannya.
“ dia memohon maaf telah mengkhianati perkawinan kami, dan mengakui kalau dia punya affair dengan jeng….” Miranti masih terdiam.
“ dia
sudah bertekad untuk melupakan jeng, dan kembali ke keluarganya.
Bagaimanapun, anak anak tak boleh menjadi korban keegoisan orang tuanya…
“ Siska menghentikan ucapannya. Dadanya turun naik, seperti menahan
gejolak kemarahan, juga kesedihan yang sangat berat.
“ sebelum
berangkat ke kantor pagi itu, mas Hans telah membungkus semua benda
ini, dan menuliskan sehelai surat. Ia meminta saya untuk mengirimkan ke
rumah jeng…. “ tangis Siska pun meledak. Miranti hanya bisa diam.
Sungguh, dia tak tahu harus berbuat apa menghadapi kejadian ini.
“ penuhilah permintaan terakhir mas Hans jeng, biar dia tenang di alam baka …” kata
kata Siska menyadarkan Miranti dari diamnya. Dia mengangguk. Jauh di
lubuk hatinya dia menangis darah. Laki laki yang mulai mengisi hatinya
itu rapi menyimpan benda pemberiannya, dan meninggalkannya dengan
tragis.
#####
Miranti memandangi rinai hujan dari balik jendela kamarnya. Sesekali
ingatannya melayang pada Hans. Kali ini dia tak ingin menangis lagi.
Dikibaskannya tangannya ke udara, seakan ingin mengusir segala bayangan
buruk di hadapannya. Miranti tak ingin terbelenggu masa lalunya yang
kelam.
Beruntung
suami dan anak anaknya bisa memahami perasaannya, cinta dan kasih
sayang mereka tak pernah berkurang karena peristiwa itu. Tak henti
hentinya Miranti menyesali diri, tetapi dia lebih bersyukur kini.
---000---
special thanks to :Mira dan Hans
terinspirasi dari kisah kalian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar