Minggu, 25 Maret 2012

Bukan Jaman Siti Nurbaya

Murni mengatupkan matanya perlahan. Beberapa tetes bening airmatanya turun membasahi pipinya yang pucat. Sudah seminggu ini ia terbaring tak berdaya di tempat tidur. Entah, ini kali ke barapa ia jatuh pingsan di kantor, tanpa diketahui sebabnya. Yang diingatnya hanyalah rasa pusing luar biasa di kepala sebelah kiri. Lalu gelap. Ia tak ingat apa apa lagi.
Saat tersadar, Murni sudah berada di kamarnya sendiri. Ada buket bunga melati di meja kecil sisi ranjang, beberapa jenis obat tertata rapi di sana. Pandangannya beradu dengan sorot mata khawatir milik Burhan, yang entah sejak kapan berada di kamarnya.
“ sshh, jangan bangun dulu. Dokter melarangmu banyak bergerak dulu….” Sigap Burhan mendekat ke sisi ranjang saat Murni mencoba bangkit.
“ aku… aku kenapa ? siapa yang membawaku pulang ? “ keluhnya.
“ kau pingsan lagi “ jawab Burhan pendek. Wajahnya menyimpan kekhawatiran yang coba disembunyikannya dari pandangan Murni.
“ sudahlah, berbaring saja. Itu obat yang harus kau minum sampai habis…..” tunjuknya ke arah meja. Murni hanya mengangguk lemah. Pandangan matanya masih berkunang kunang.
“ okey, aku pamit pulang dulu. Ini sudah terlalu malam, nanti kau tak bisa beristirahat. Besok aku kemari lagi sebelum ke kantor….” Burhan pamit, mengecup kening Murni dan segera berlalu.

#####
Setahun terakhir Murni sering menderita nyeri kepala yang hebat. Nyeri itu semakin menghebat ketika malam hari ataupun pada saat bangun pagi. Selama ini dia tak pernah menghiraukannya. Dia hanya minum obat sakit kepala biasa yang dibelinya di warung dekat rumah. Terkadang, dia hanya meminum segelas teh hangat dan mencoba beristirahat hingga nyeri kepala itu reda sendiri.
Burhan tak bosan bosannya menyarankan Murni untuk ke dokter. Tetapi berkali kali pula Murni menolak saran itu. Entah kenapa, mendengar kata ‘ dokter ‘ itu saja telah membuat Murni alergi. Yaah, selama ini Murni sangat takut pergi ke dokter.
Kali ini Murni terpaksa menyerah. Ia tak sanggup lagi menahan sakit yang luar biasa ini. Dibiarkannya Badrun mengantarkannya ke rumah sakit, menungguinya diperiksa dan menemaninya saat sudah dipindahkan ke kamar perawatan.
Beberapa kali Burhan mencoba meraih handel pintu kamar perawatan Murni, tetapi selalu saja diurungkannya. Hatinya ragu ragu, takut mengganggu istirahat gadis itu. Dengan gelisah, dia mondar mandir di luar kamar, sambil menimbang nimbang.
Sesekali diintipnya melalui kaca jendela yang sedikit buram, tetapi tirai yang tertutup rapat itu menghalangi usahanya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Burhan membuka pintu kamar, dan menghampiri Murni yang tengah tertidur. Pelan pelan dibetulkannya letak selimut yang sedikit tersingkap. Hatinya pedih seperti teriris iris menyaksikan gadis yang dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Tak tega membangunkan gadis itu, Burhan meletakkan sehelai surat di sisi bantal. Setelah mengecup kening Murni, Burhan pun melangkah menjauh, meninggalkan Murni yang masih terlelap.
Tatapan matanya kosong memandang ke luar jendela bus yang ditumpanginya. Pikirannya kacau, perasaannya seperti tercabik cabik. Minggu yang lalu dia dipindah tugaskan ke kantor cabang di kota lain, hampir 500 km jauhnya. Mulanya dia ingin menolak, tetapi jenjang karier yang diharapkannya sejak lama kini ada dalam genggamannya.
Burhan tak kuasa mengabarkan berita ini pada Murni. Dia tak ingin melihat kesedihan terpancar di mata gadis itu. Entah apa yang akan dilakukannya setelah membaca surat yang ditinggalkannya di pembaringan.
Huff…. Burhan membanting ranselnya ke dipan. Dihabiskannya hampir duabelas jam perjalanan untuk mencapai kantor cabang tempatnya bekerja kini. Setelah mengeluarkan isi ranselnya, merapikan kamarnya yang tak terlalu luas ini, diapun beranjak keluar. Dia ingin mengisi perutnya yang keroncongan sejak tadi. Dihampirinya kedai makan yang terletak beberapa meter dari tempat kostnya.
Segera saja Burhan tenggelam dalam kesibukan kerja di kantor baru. Jabatannya sebagai Manager Pemasaran memaksanya untuk sering ke luar kantor untuk bertemu klient ataupun mengadakan presentasi.
Saat itulah ia bertemu dan berkenalan dengan Santi, sekretaris perusahaan dimana dia melakukan presentasi. Orangnya manis, ceria, dan sangat gesit dalam melakukan tugasnya. Beberapa kali mereka bertemu dan membicarakan proposal yang diajukan Burhan. Entah kali ke berapa, Burhan akhirnya mendapatkan nomor handphone gadis itu.
Keakraban diantara mereka mulai terjalin sejak proposal itu disetujui kantor tempat Santi bekerja. Pembicaraan mulai beralih dari draft proposal menjadi ke persoalan pribadi. Terkadang mereka janjian untuk makan malam berdua selepas jam kantor, dilanjutkan jalan jalan ke mall ataupun nonton.
Jauh di sudut hatinya, Burhan masih menyimpan nama Murni, gadis yang ditinggalkannya.
*****
Sepeninggal Burhan, kedua orang tua Murni menjodohkan gadis itu dengan anak sahabat mereka semasa masih sekolah. Murni tak kuasa menolak. Selama ini tak ada khabar sedikitpun dari Burhan. Nomor handphone yang diberikannya dulu tak bisa dihubungi. Murni tak berani menanyakan perihal pemuda itu ke kantornya. Dia malu.
Maka jadilah Murni sebagai istri Sigit, pemuda pilihan orang tuanya. Pernikahan berlangsung khidmad dan meriah. Senyum tak henti hentinya mengembang di bibir ibu Murni, juga kedua orang tua Sigit. Hanya Murni yang sesekali tampak murung, meski sekuat tenaga disembunyikannya di balik senyumnya yang hambar.
Hari hari dilaluinya dengan muram. Terkadang bayangan Burhan hadir di mimpinya. Murni berusaha melupakan cintanya, melupakan pemuda itu. Kini dia istri Sigit, tak boleh bila masih menyimpan pria lain di hatinya.
Sigit ternyata tak sebaik dugaan kedua orang tuanya. Dia pemberang, ringan tangan dan gampang memaki. Persoalan sepele saja bisa membuatnya naik darah. Beberapa kali Murni harus menahan tangis saat Sigit menempelengnya, rasa nyeri yang menyerang kepalanya tambah menghebat.
“ kau kenapa nak ? Sakit ? wajahmu pucat begitu ….. “ sapa ayahnya. Murni menggeleng dan berusaha tersenyum. Getir.
“ aku nggak kenapa kenapa kok pak…” sahutnya.
“ tapi kenapa pelipismu itu ? ini…. lenganmu juga biru biru…. “ khawatir sekali nada suara ayahnya, membuat Murni harus menahan tangisnya. Ia tak mau mengadukan persoalan rumah tangganya pada ayahnya.
“ ini terantuk pintu kamar mandi tadi pagi pak…. Lantainya licin, belum disikat, dan aku terpeleset…” sahut Murni lirih, menahan isaknya.
“ kita ke dokter yaa…”
Tanpa menunggu jawaban, pak Yahya mengajak Murni ke dokter. Setelah memeriksa dengan teliti, dokter Imam mengajak pak Yahya ke ruang dalam, sementara Murni dipersilahkan menunggu di ruang prakteknya.
“ langsung saja ya pak. Luka luka di tubuh Murni bukan karena terjatuh atau terpeleset pak. Tetapi ini KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga…..” hati hati dokter Imam menyampaikan hasil diagnosanya.
“ astaghfirullah… “ pak Yahya beristighfar. Tak pernah diduganya sama sekali bila menantunya ternyata laki laki pemarah dan kejam.
“ ini saya sudah buatkan pengantar untuk membuat visum di rumah sakit. Itu kalau pak Yahya ingin melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib …”. Dokter Imam mengulurkan amplop putih.
“ te..terima ka…kasih dokter… permisi…” gemetaran pak Yahya menerima amplop itu dan pamit. Digandengnya tangan Murni, tanpa berani menatap wajah anak perempuannya. Tak henti hentinya dia mengutuki keputusannya dulu. Dia merasa sangat bersalah telah menjerumuskan anaknya ke lubang penderitaan. Murni hanya menurut, berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, namun ditahannya karena wajah ayahnya demikian muram.
#####
Burhan melangkah riang. Hatinya tidak sabar ingin segera sampai ke rumah. Sudah dibayangkannya pertemuan dengan kedua orang tuanya dan juga Murni. Telah disiapkannya sebuah kado khusus untuk gadisnya. Sebuah kebaya berenda, kain pelekat dan tas tangan mungil berwarna perak. “ aah, Murni pasti sangat cantik mengenakan kebaya ini...” gumam Burhan. Tangannya sibuk membongkar barang bawaannya, hingga tak menyadari bila ibunya sudah berdiri di pintu kamarnya dengan raut wajah sedih.
“ ehm… banyak sekali bawaanmu nak ? “ sapa ibunya lembut sambil mengelus kain pelekat dan kebaya berenda itu. Sekuat tenaga disembunyikannya air mata yang hampir jatuh.
Burhan tersenyum lebar. “ ini bu… cantik kan ? ini khusus buat Murni…. “ girang sekali nada suara Burhan.
“ tapi nak…. “ suara ibunya tercekat, tak mampu melanjutkan kalimatnya.
“ tapi apa bu ? “ sahut Burhan tak sabar.
“ lupakan dia nak, demi kebaikanmu….” Lirih suara ibunya, lalu beranjak meninggalkannya sendirian.
Tak sengaja Burhan mendengar percakapan ibu dan ayahnya saat melangkah ke kamar mandi. Ibunya tengah menangis, sementara ayahnya hanya bisa terdiam tak bisa berkata apa apa.
“ inikah alasan ibu yang sebenarnya ? “ gumam Burhan lirih. “ kenapa ibu dan ayah tak pernah sekalipun mengabariku soal ini ? kenapa bu, kenapaa ? “
Burhan menghambur keluar rumah, dan berlari menuju ke dangau di tengah sawah tempat biasa dia menghabiskan waktunya. Hatinya hancur, harapannya kandas di tengah jalan.
“ percuma….percumaaaa “ jeritnya pilu. Kawanan pipit berhamburan, beterbangan karena terkejut. Beberapa petani yang sedang panen menoleh ke arahnya, tetapi segera melanjutkan pekerjaannya kembali.
Entah sudah berapa lama Burhan tertidur di dangau. Saat terbangun, hari sudah menjelang malam. Langit berwarna jingga, berhiaskan awan berarak, sesekali melintas kawanan sriti, burung pipit dan burung gereja bergegas pulang ke sarang. Angin mulai dingin, dan sekeliling dangau sunyi senyap. Dia bergegas pulang, takut bila orangtuanya cemas menantikannya.
#####
Pengadilan mengabulkan gugatan cerai Murni berdasarkan visum dari rumah sakit. Tak henti hentinya pak Yahya meminta maaf pada anak perempuannya. Dia telah gegabah menentukan nasib anaknya, yang berakhir dengan kejadian memilukan. Nyeri di kepala Murni makin sering menyerangnya. Terkadang dia tak bisa bangun dari tempat tidur seharian. Kedua orang tuanya dengan penuh kasih menjaganya, merawatnya dan menemaninya. Seolah mereka ingin menebus semua kesalahan dengan makin menyayangi anak perempuannya.
……….

Burhan tak terdengar lagi khabar beritanya, hilang ditelan bumi. Sesekali Murni menatap foto terakhir mereka sebelum berpisah. Surat yang ditinggalkan Burhan pun masih tetap disimpannya rapi, meskipun Murni tak tahu kenapa.
“ oalah nduk … nduk…. Bangun…. “
“ pak ..pak….ini gimana ? “ suara ibu Murni memecah pagi yang masih sunyi itu. Bergegas keduanya membawa Murni ke rumah sakit.
Pak Yahya terduduk lemas, sementara istrinya pingsan di sebelahnya. Murni menderita kanker otak stadium lanjut, dan selama ini dia menyembunyikan penyakitnya dari kedua orang tuanya. Ditambah lagi pukulan dan tempelengan Sigit dulu, makin menambah parah penyakitnya.
………..

Tergopoh gopoh Burhan menelusuri lorong rumah sakit, dan menjumpai kedua orang tua Murni di kamar perawatan.
“ pak, bu ..” disalaminya tangan kedua orang tua itu. Berbagai pertanyaan yang sudah di ujung lidahnya dibiarkan mengambang di udara. Tak tega rasanya bertanya, dengan melihat kondisi Murni saja dia sudah mengerti.
“ dinda…. Murni… ini aku, mas Burhanmu….”
“ aku datang memenuhi janjiku dulu….” Bisiknya di telinga Murni. Kelopak mata itu terbuka sebentar, menatap nanar lalu kembali mengatup.
Seharian itu Burhan tak beranjak dari sisi pembaringan. Digenggamnya jemari Murni yang lemah, sesekali diusapnya wajah pucat pasi itu. Hatinya menangis, seandainya bisa tentu sudah dipindahkannya rasa sakit itu pada tubuhnya sendiri. Tapi apa mungkin ??
Kesehatan Murni terus memburuk. Tubuhnya tak sanggup lagi menahan sakit yang dideritanya. Dia hanya sempat terbangun sebentar,tangannya lemah terulur mengelus wajah Burhan lalu terkulai. Dia telah pergi.
Pak Yahya tertegun, tubuhnya sempoyongan menahan istrinya yang lemas bersandar di pundaknya.
“ anakku….maafkan kami orang tuamu nak….” Isaknya pelan. Tubuhnya limbung dan tak ingat apa apa lagi.
Burhan hanya bisa tegak mematung. Separuh jiwanya telah pergi, bersama Murni yang dicintainya.
“ pergilah dinda. Hari ini kau telah terbebas dari penderitaanmu….” Lirih suaranya.
Diapun melangkah menjauh, tak tahu entah kemana.


13326773801960900309
gambar dari google





malam mulai merambat menyapa sepi yang mengelana
menelusuri tepian pematang bertemankan senyuman bulan
daun daun merunduk dalam gigil beku pelukan halimun
tipis melayang membuai burung burung malam

aku masih sendiri di sini
menganyam buhul dan untai ilalang menguning
bersulam putih kelopak melati
berserak menutup tanah basah sisa hujan

hadirmu bak seleret sinar bintang yang jatuh
saat pengharapan mengembara mencapai langi
t

……….

yang tersisa tinggallah sebait ilusi
tatkala hasrat menggapai ulur lenganmu sebatas pagutan mimpi

---000---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar