Murni
mengatupkan matanya perlahan. Beberapa tetes bening airmatanya turun
membasahi pipinya yang pucat. Sudah seminggu ini ia terbaring tak
berdaya di tempat tidur. Entah, ini kali ke barapa ia jatuh
pingsan di kantor, tanpa diketahui sebabnya. Yang diingatnya hanyalah
rasa pusing luar biasa di kepala sebelah kiri. Lalu gelap. Ia tak ingat
apa apa lagi.
Saat tersadar, Murni sudah berada di kamarnya sendiri. Ada buket bunga melati di meja kecil sisi ranjang, beberapa jenis obat tertata rapi di sana. Pandangannya beradu dengan sorot mata khawatir milik Burhan, yang entah sejak kapan berada di kamarnya.
“ sshh,
jangan bangun dulu. Dokter melarangmu banyak bergerak dulu….” Sigap
Burhan mendekat ke sisi ranjang saat Murni mencoba bangkit.
“ aku… aku kenapa ? siapa yang membawaku pulang ? “ keluhnya.
“ kau pingsan lagi “ jawab Burhan pendek. Wajahnya menyimpan kekhawatiran yang coba disembunyikannya dari pandangan Murni.
“ sudahlah, berbaring saja. Itu obat yang harus kau minum sampai habis…..” tunjuknya ke arah meja. Murni hanya mengangguk lemah. Pandangan matanya masih berkunang kunang.
“ okey,
aku pamit pulang dulu. Ini sudah terlalu malam, nanti kau tak bisa
beristirahat. Besok aku kemari lagi sebelum ke kantor….” Burhan pamit,
mengecup kening Murni dan segera berlalu.
#####
Setahun
terakhir Murni sering menderita nyeri kepala yang hebat. Nyeri itu
semakin menghebat ketika malam hari ataupun pada saat bangun pagi.
Selama ini dia tak pernah menghiraukannya. Dia hanya minum obat sakit
kepala biasa yang dibelinya di warung dekat rumah. Terkadang, dia hanya
meminum segelas teh hangat dan mencoba beristirahat hingga nyeri kepala
itu reda sendiri.
Burhan
tak bosan bosannya menyarankan Murni untuk ke dokter. Tetapi berkali
kali pula Murni menolak saran itu. Entah kenapa, mendengar kata ‘ dokter
‘ itu saja telah membuat Murni alergi. Yaah, selama ini Murni sangat
takut pergi ke dokter.
Kali
ini Murni terpaksa menyerah. Ia tak sanggup lagi menahan sakit yang
luar biasa ini. Dibiarkannya Badrun mengantarkannya ke rumah sakit,
menungguinya diperiksa dan menemaninya saat sudah dipindahkan ke kamar
perawatan.
Beberapa
kali Burhan mencoba meraih handel pintu kamar perawatan Murni, tetapi
selalu saja diurungkannya. Hatinya ragu ragu, takut mengganggu istirahat
gadis itu. Dengan gelisah, dia mondar mandir di luar kamar, sambil
menimbang nimbang.
Sesekali diintipnya melalui kaca jendela yang sedikit buram, tetapi tirai yang tertutup rapat itu menghalangi usahanya.
Setelah
beberapa saat, akhirnya Burhan membuka pintu kamar, dan menghampiri
Murni yang tengah tertidur. Pelan pelan dibetulkannya letak selimut yang
sedikit tersingkap. Hatinya pedih seperti teriris iris menyaksikan
gadis yang dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Tak tega
membangunkan gadis itu, Burhan meletakkan sehelai surat di sisi bantal.
Setelah mengecup kening Murni, Burhan pun melangkah menjauh,
meninggalkan Murni yang masih terlelap.
Tatapan
matanya kosong memandang ke luar jendela bus yang ditumpanginya.
Pikirannya kacau, perasaannya seperti tercabik cabik. Minggu yang lalu
dia dipindah tugaskan ke kantor cabang di kota lain, hampir 500 km
jauhnya. Mulanya dia ingin menolak, tetapi jenjang karier yang
diharapkannya sejak lama kini ada dalam genggamannya.
Burhan
tak kuasa mengabarkan berita ini pada Murni. Dia tak ingin melihat
kesedihan terpancar di mata gadis itu. Entah apa yang akan dilakukannya
setelah membaca surat yang ditinggalkannya di pembaringan.
Huff….
Burhan membanting ranselnya ke dipan. Dihabiskannya hampir duabelas jam
perjalanan untuk mencapai kantor cabang tempatnya bekerja kini. Setelah
mengeluarkan isi ranselnya, merapikan kamarnya yang tak terlalu luas
ini, diapun beranjak keluar. Dia ingin mengisi perutnya yang keroncongan
sejak tadi. Dihampirinya kedai makan yang terletak beberapa meter dari
tempat kostnya.
Segera
saja Burhan tenggelam dalam kesibukan kerja di kantor baru. Jabatannya
sebagai Manager Pemasaran memaksanya untuk sering ke luar kantor untuk
bertemu klient ataupun mengadakan presentasi.
Saat
itulah ia bertemu dan berkenalan dengan Santi, sekretaris perusahaan
dimana dia melakukan presentasi. Orangnya manis, ceria, dan sangat gesit
dalam melakukan tugasnya. Beberapa kali mereka bertemu dan membicarakan
proposal yang diajukan Burhan. Entah kali ke berapa, Burhan akhirnya
mendapatkan nomor handphone gadis itu.
Keakraban
diantara mereka mulai terjalin sejak proposal itu disetujui kantor
tempat Santi bekerja. Pembicaraan mulai beralih dari draft proposal
menjadi ke persoalan pribadi. Terkadang mereka janjian untuk makan malam
berdua selepas jam kantor, dilanjutkan jalan jalan ke mall ataupun
nonton.
Jauh di sudut hatinya, Burhan masih menyimpan nama Murni, gadis yang ditinggalkannya.
*****
Sepeninggal
Burhan, kedua orang tua Murni menjodohkan gadis itu dengan anak sahabat
mereka semasa masih sekolah. Murni tak kuasa menolak. Selama ini tak
ada khabar sedikitpun dari Burhan. Nomor handphone yang diberikannya
dulu tak bisa dihubungi. Murni tak berani menanyakan perihal pemuda itu
ke kantornya. Dia malu.
Maka
jadilah Murni sebagai istri Sigit, pemuda pilihan orang tuanya.
Pernikahan berlangsung khidmad dan meriah. Senyum tak henti hentinya
mengembang di bibir ibu Murni, juga kedua orang tua Sigit. Hanya Murni
yang sesekali tampak murung, meski sekuat tenaga disembunyikannya di
balik senyumnya yang hambar.
Hari
hari dilaluinya dengan muram. Terkadang bayangan Burhan hadir di
mimpinya. Murni berusaha melupakan cintanya, melupakan pemuda itu. Kini
dia istri Sigit, tak boleh bila masih menyimpan pria lain di hatinya.
Sigit
ternyata tak sebaik dugaan kedua orang tuanya. Dia pemberang, ringan
tangan dan gampang memaki. Persoalan sepele saja bisa membuatnya naik
darah. Beberapa kali Murni harus menahan tangis saat Sigit
menempelengnya, rasa nyeri yang menyerang kepalanya tambah menghebat.
“ kau kenapa nak ? Sakit ? wajahmu pucat begitu ….. “ sapa ayahnya. Murni menggeleng dan berusaha tersenyum. Getir.
“ aku nggak kenapa kenapa kok pak…” sahutnya.
“ tapi kenapa pelipismu itu ? ini…. lenganmu juga biru biru…. “ khawatir
sekali nada suara ayahnya, membuat Murni harus menahan tangisnya. Ia
tak mau mengadukan persoalan rumah tangganya pada ayahnya.
“ ini
terantuk pintu kamar mandi tadi pagi pak…. Lantainya licin, belum
disikat, dan aku terpeleset…” sahut Murni lirih, menahan isaknya.
“ kita ke dokter yaa…”
Tanpa
menunggu jawaban, pak Yahya mengajak Murni ke dokter. Setelah memeriksa
dengan teliti, dokter Imam mengajak pak Yahya ke ruang dalam, sementara
Murni dipersilahkan menunggu di ruang prakteknya.
“ langsung
saja ya pak. Luka luka di tubuh Murni bukan karena terjatuh atau
terpeleset pak. Tetapi ini KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga…..” hati
hati dokter Imam menyampaikan hasil diagnosanya.
“ astaghfirullah… “ pak Yahya beristighfar. Tak pernah diduganya sama sekali bila menantunya ternyata laki laki pemarah dan kejam.
“ ini
saya sudah buatkan pengantar untuk membuat visum di rumah sakit. Itu
kalau pak Yahya ingin melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib …”.
Dokter Imam mengulurkan amplop putih.
“ te..terima
ka…kasih dokter… permisi…” gemetaran pak Yahya menerima amplop itu dan
pamit. Digandengnya tangan Murni, tanpa berani menatap wajah anak
perempuannya. Tak henti hentinya dia mengutuki
keputusannya dulu. Dia merasa sangat bersalah telah menjerumuskan
anaknya ke lubang penderitaan. Murni hanya menurut, berbagai pertanyaan
berkecamuk dalam hatinya, namun ditahannya karena wajah ayahnya demikian
muram.
#####
Burhan
melangkah riang. Hatinya tidak sabar ingin segera sampai ke rumah.
Sudah dibayangkannya pertemuan dengan kedua orang tuanya dan juga Murni.
Telah disiapkannya sebuah kado khusus untuk gadisnya. Sebuah kebaya
berenda, kain pelekat dan tas tangan mungil berwarna perak. “ aah, Murni
pasti sangat cantik mengenakan kebaya ini...” gumam Burhan. Tangannya
sibuk membongkar barang bawaannya, hingga tak menyadari bila ibunya
sudah berdiri di pintu kamarnya dengan raut wajah sedih.
“ ehm…
banyak sekali bawaanmu nak ? “ sapa ibunya lembut sambil mengelus kain
pelekat dan kebaya berenda itu. Sekuat tenaga disembunyikannya air mata
yang hampir jatuh.
Burhan tersenyum lebar. “ ini bu… cantik kan ? ini khusus buat Murni…. “ girang sekali nada suara Burhan.
“ tapi nak…. “ suara ibunya tercekat, tak mampu melanjutkan kalimatnya.
“ tapi apa bu ? “ sahut Burhan tak sabar.
“ lupakan dia nak, demi kebaikanmu….” Lirih suara ibunya, lalu beranjak meninggalkannya sendirian.
Tak
sengaja Burhan mendengar percakapan ibu dan ayahnya saat melangkah ke
kamar mandi. Ibunya tengah menangis, sementara ayahnya hanya bisa
terdiam tak bisa berkata apa apa.
“
inikah alasan ibu yang sebenarnya ? “ gumam Burhan lirih. “ kenapa ibu
dan ayah tak pernah sekalipun mengabariku soal ini ? kenapa bu, kenapaa ?
“
Burhan
menghambur keluar rumah, dan berlari menuju ke dangau di tengah sawah
tempat biasa dia menghabiskan waktunya. Hatinya hancur, harapannya
kandas di tengah jalan.
“
percuma….percumaaaa “ jeritnya pilu. Kawanan pipit berhamburan,
beterbangan karena terkejut. Beberapa petani yang sedang panen menoleh
ke arahnya, tetapi segera melanjutkan pekerjaannya kembali.
Entah
sudah berapa lama Burhan tertidur di dangau. Saat terbangun, hari sudah
menjelang malam. Langit berwarna jingga, berhiaskan awan berarak,
sesekali melintas kawanan sriti, burung pipit dan burung gereja bergegas
pulang ke sarang. Angin mulai dingin, dan sekeliling dangau sunyi
senyap. Dia bergegas pulang, takut bila orangtuanya cemas menantikannya.
#####
Pengadilan
mengabulkan gugatan cerai Murni berdasarkan visum dari rumah sakit. Tak
henti hentinya pak Yahya meminta maaf pada anak perempuannya. Dia telah
gegabah menentukan nasib anaknya, yang berakhir dengan kejadian
memilukan. Nyeri di kepala Murni makin sering menyerangnya. Terkadang
dia tak bisa bangun dari tempat tidur seharian. Kedua orang tuanya
dengan penuh kasih menjaganya, merawatnya dan menemaninya. Seolah mereka
ingin menebus semua kesalahan dengan makin menyayangi anak
perempuannya.
……….
Burhan
tak terdengar lagi khabar beritanya, hilang ditelan bumi. Sesekali
Murni menatap foto terakhir mereka sebelum berpisah. Surat yang
ditinggalkan Burhan pun masih tetap disimpannya rapi, meskipun Murni tak
tahu kenapa.
“ oalah nduk … nduk…. Bangun…. “
“ pak ..pak….ini gimana ? “ suara ibu Murni memecah pagi yang masih sunyi itu. Bergegas keduanya membawa Murni ke rumah sakit.
Pak
Yahya terduduk lemas, sementara istrinya pingsan di sebelahnya. Murni
menderita kanker otak stadium lanjut, dan selama ini dia menyembunyikan
penyakitnya dari kedua orang tuanya. Ditambah lagi pukulan dan
tempelengan Sigit dulu, makin menambah parah penyakitnya.
………..
Tergopoh gopoh Burhan menelusuri lorong rumah sakit, dan menjumpai kedua orang tua Murni di kamar perawatan.
“
pak, bu ..” disalaminya tangan kedua orang tua itu. Berbagai pertanyaan
yang sudah di ujung lidahnya dibiarkan mengambang di udara. Tak tega
rasanya bertanya, dengan melihat kondisi Murni saja dia sudah mengerti.
“ dinda…. Murni… ini aku, mas Burhanmu….”
“
aku datang memenuhi janjiku dulu….” Bisiknya di telinga Murni. Kelopak
mata itu terbuka sebentar, menatap nanar lalu kembali mengatup.
Seharian
itu Burhan tak beranjak dari sisi pembaringan. Digenggamnya jemari
Murni yang lemah, sesekali diusapnya wajah pucat pasi itu. Hatinya
menangis, seandainya bisa tentu sudah dipindahkannya rasa sakit itu pada
tubuhnya sendiri. Tapi apa mungkin ??
Kesehatan
Murni terus memburuk. Tubuhnya tak sanggup lagi menahan sakit yang
dideritanya. Dia hanya sempat terbangun sebentar,tangannya lemah terulur
mengelus wajah Burhan lalu terkulai. Dia telah pergi.
Pak Yahya tertegun, tubuhnya sempoyongan menahan istrinya yang lemas bersandar di pundaknya.
“ anakku….maafkan kami orang tuamu nak….” Isaknya pelan. Tubuhnya limbung dan tak ingat apa apa lagi.
Burhan hanya bisa tegak mematung. Separuh jiwanya telah pergi, bersama Murni yang dicintainya.
“ pergilah dinda. Hari ini kau telah terbebas dari penderitaanmu….” Lirih suaranya.
Diapun melangkah menjauh, tak tahu entah kemana.
malam mulai merambat menyapa sepi yang mengelana
menelusuri tepian pematang bertemankan senyuman bulan
daun daun merunduk dalam gigil beku pelukan halimun
tipis melayang membuai burung burung malam
menelusuri tepian pematang bertemankan senyuman bulan
daun daun merunduk dalam gigil beku pelukan halimun
tipis melayang membuai burung burung malam
aku masih sendiri di sini
menganyam buhul dan untai ilalang menguning
bersulam putih kelopak melati
berserak menutup tanah basah sisa hujan
hadirmu bak seleret sinar bintang yang jatuh
saat pengharapan mengembara mencapai langit
……….
yang tersisa tinggallah sebait ilusi
tatkala hasrat menggapai ulur lenganmu sebatas pagutan mimpi
tatkala hasrat menggapai ulur lenganmu sebatas pagutan mimpi
---000---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar