Hari
minggu 12 Januari 2014 saya bersama suami mendapat undangan pertemuan
keluarga di salah satu rumah makan yang terletak di daerah Gedongkuning.
Seperti biasa, kami akan saling bersalaman sambil bertanya kabar kepada
beberapa keluarga yang sudah tiba lebih dulu. Kapan lagi bisa saling
mengobrol akrab bersama kerabat? Inilah salah satu keindahan dalam
silaturahim.
Setelah
sebagian besar undangan hadir, acara segera dimulai dengan membaca doa
bersama, mendengarkan uraian tausyiah dari ustadz sekitar 25 menit lalu
disambung dengan istirahat sholat dan makan siang.
Sebelumnya,
para undangan dipersilahkan mengambil sendiri hidangan pembuka. Tak
seperti yang sudah berjalan selama ini, kali ini para hadirin disuguhi
makanan khas seperti gatot, tiwul, ketan, lopis, klepon dan cenil.
Menggunakan sudi – semacam mangkuk dari daun yang ada tonjolan di
tengahnya – kami bebas mengambil hidangan yang disukai. Parutan kelapa
muda dan juruh – saus yg terbuat dari gula merah – melengkapi hidangan khas siang itu.
Karena
bertempat di sebuah rumah makan, maka yang datang di tempat acara
tersebut tidak hanya keluarga kami sendiri. Masih banyak para pengunjung
lain yang memadati rumah makan tersebut. Kebetulan tempat yang dipilih
oleh penyelenggara adalah sebuah ruangan yang terletak di sisi selatan
bersebelahan dengan musholla dan kamar mandi.
Saat
itu hujan tengah mengguyur kota Yogyakarta, tak terkecuali daerah
sekitar rumah makan tersebut. Beberapa pengunjung yang hendak menunaikan
sholat Dhuhur terpaksa mlipir – melalui jalan sempit di sisi ruangan yang terlindung dari tampias hujan.
Sambil
mendengarkan tausyiah dari ustadz, tak sengaja saya menangkap
pemandangan yang membuat saya harus menahan tawa. Dua orang pengunjung
laki-laki dan perempuan yang mlipir ‘kebetulan’ melewati
depan meja tempat kami menata hidangan khas tadi. Si laki-laki, mungkin
suami si perempuan, menunjuk-nunjuk pada gatot dan tiwul yang tersedia
di sana.
“Bu….bu….iki lho. Ana gatot, tiwul…..” katanya penuh antusias.
Ia
berbalik ke arah isterinya yang masih berada di bawah – di undakan.
Karena si isteri tidak segera mendekat, laki-laki tadi mendekati nampan
dan meraih sudi. Tanpa bertanya dulu si lelaki langsung
saja mengambil gatot, tiwul dan hidangan lainnya. Laki-laki itu juga
tidak berusaha bertanya kepada beberapa kerabat yang berada di sekitar
meja hidangan. Dengan tenangnya, laki-laki tersebut melenggang pergi
sambil membawa sudi yang sudah diisi penuh.
Saya dan beberapa undangan yang kebetulan melihat dari balik kaca ruangan menjadi bertanya-tanya. Siapa dia sebenarnya?
Saat istirahat makan siang, saya sempat membahas peristiwa tersebut bersama si empunya gawe.
Pada awalnya kami berasumsi bahwa ‘bapak-bapak’ tadi adalah orang asli
Jogja yang sudah lama merantau ke lain daerah, sehingga ia merasa sangat
beruntung bisa menemui hidangan khas tadi.
Obrolan pun melebar. “Kok bisa ya?”
kata si empunya hajat sambil tertawa geli. Kami bisa memaklumi kalau
hal itu dilakukan oleh anak-anak yang belum memahami etika dalam
bermasyarakat. Lha ini? Dua orang dewasa yang tentunya sudah sangat
paham apa itu etika dan sopan santun.
Apa
mereka tak berpikir untuk – setidaknya bertanya lebih dahulu kepada
beberapa orang yang berada di sekitar meja itu – sekedar memastikan?
Ataukah karena berada di sebuah rumah makan maka mereka beranggapan
bahwa hidangan itu ‘bebas’ disediakan untuk para pengunjung?
Bukan nilai uangnya yang kami sayangkan, tetapi lebih kepada tindakan ‘main slonong’ yang menggelikan itu.
Pada akhirnya – malu bertanya malu-maluin kan?
Entahlah.
=====%%%%%%%=====