Sabtu, 15 Maret 2014

Malu Bertanya, Malu Maluin Kan?

akhardhi.wordpress.com
akhardhi.wordpress.com

Hari minggu 12 Januari 2014 saya bersama suami mendapat undangan pertemuan keluarga di salah satu rumah makan yang terletak di daerah Gedongkuning. Seperti biasa, kami akan saling bersalaman sambil bertanya kabar kepada beberapa keluarga yang sudah tiba lebih dulu. Kapan lagi bisa saling mengobrol akrab bersama kerabat? Inilah salah satu keindahan dalam silaturahim. 

Setelah sebagian besar undangan hadir, acara segera dimulai dengan membaca doa bersama, mendengarkan uraian tausyiah dari ustadz sekitar 25 menit lalu disambung dengan istirahat sholat dan makan siang. 

Sebelumnya, para undangan dipersilahkan mengambil sendiri hidangan pembuka. Tak seperti yang sudah berjalan selama ini, kali ini para hadirin disuguhi makanan khas seperti gatot, tiwul, ketan, lopis, klepon dan cenil. Menggunakan sudi – semacam mangkuk dari daun yang ada tonjolan di tengahnya – kami bebas mengambil hidangan yang disukai. Parutan kelapa muda dan juruh – saus yg terbuat dari gula merah – melengkapi hidangan khas siang itu.


Karena bertempat di sebuah rumah makan, maka yang datang di tempat acara tersebut tidak hanya keluarga kami sendiri. Masih banyak para pengunjung lain yang memadati rumah makan tersebut. Kebetulan tempat yang dipilih oleh penyelenggara adalah sebuah ruangan yang terletak di sisi selatan bersebelahan dengan musholla dan kamar mandi. 

Saat itu hujan tengah mengguyur kota Yogyakarta, tak terkecuali daerah sekitar rumah makan tersebut. Beberapa pengunjung yang hendak menunaikan sholat Dhuhur terpaksa mlipir – melalui jalan sempit di sisi ruangan yang terlindung dari tampias hujan.

Sambil mendengarkan tausyiah dari ustadz, tak sengaja saya menangkap pemandangan yang membuat saya harus menahan tawa. Dua orang pengunjung laki-laki dan perempuan yang mlipir  ‘kebetulan’ melewati depan meja tempat kami menata hidangan khas tadi. Si laki-laki, mungkin suami si perempuan, menunjuk-nunjuk pada gatot dan tiwul yang tersedia di sana.


“Bu….bu….iki lho. Ana gatot, tiwul…..” katanya penuh antusias. 

Ia berbalik ke arah isterinya yang masih berada di bawah – di undakan. Karena si isteri tidak segera mendekat, laki-laki tadi mendekati nampan dan meraih sudi. Tanpa bertanya dulu  si lelaki langsung saja mengambil gatot, tiwul dan hidangan lainnya. Laki-laki itu juga tidak berusaha bertanya kepada beberapa kerabat yang berada di sekitar meja hidangan. Dengan tenangnya, laki-laki tersebut melenggang pergi sambil membawa sudi yang sudah diisi penuh.

Saya dan beberapa undangan yang kebetulan melihat dari balik kaca ruangan menjadi bertanya-tanya. Siapa dia sebenarnya?


Saat istirahat makan siang, saya sempat membahas peristiwa tersebut bersama si empunya gawe. Pada awalnya kami berasumsi bahwa ‘bapak-bapak’ tadi adalah orang asli Jogja yang sudah lama merantau ke lain daerah, sehingga ia merasa sangat beruntung bisa menemui hidangan khas tadi. 

Obrolan pun melebar. “Kok bisa ya?” kata si empunya hajat sambil tertawa geli. Kami bisa memaklumi kalau hal itu dilakukan oleh anak-anak yang belum memahami etika dalam bermasyarakat. Lha ini? Dua orang dewasa yang tentunya sudah sangat paham apa itu etika dan sopan santun.

Apa mereka tak berpikir untuk – setidaknya bertanya lebih dahulu kepada beberapa orang yang berada di sekitar meja itu – sekedar memastikan? Ataukah karena berada di sebuah rumah makan maka mereka beranggapan bahwa hidangan itu ‘bebas’ disediakan untuk para pengunjung? 

Bukan nilai uangnya yang kami sayangkan, tetapi lebih kepada tindakan ‘main slonong’ yang menggelikan itu.

Pada akhirnya – malu bertanya malu-maluin kan?                      
                                              
Entahlah.



=====%%%%%%%=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar